Sejarah Kemerdekaan Solomon Islands: Perjalanan Menuju Kedaulatan

Sejarah Kemerdekaan Solomon Islands: Perjalanan Menuju Kedaulatan

Penulis: Riyan Wicaksono

Editor: Muhammad Kadafi

Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88

marylandleather.com, 29 Mei 2025

45 Tahun Kepulauan Solomon Merdeka Dari Inggris | Jubi Papua

Solomon Islands, sebuah negara kepulauan di Melanesia, Pasifik Barat Daya, meraih kemerdekaannya dari Inggris pada 7 Juli 1978, menandai babak baru dalam sejarahnya sebagai negara berdaulat. Perjalanan menuju kemerdekaan ini dipengaruhi oleh gelombang dekolonisasi global, dinamika lokal, dan perubahan politik yang signifikan. Dari penemuan oleh penjelajah Spanyol pada abad ke-16 hingga menjadi protektorat Inggris, Solomon Islands menghadapi berbagai tantangan sebelum akhirnya mencapai kedaulatan. Artikel ini akan menguraikan secara mendetail sejarah kemerdekaan Solomon Islands, mencakup latar belakang kolonial, langkah-langkah menuju pemerintahan sendiri, peristiwa kemerdekaan, dan tantangan pasca-kemerdekaan, dengan fokus pada akurasi dan konteks historis.

1. Latar Belakang Sejarah dan Kolonisasi

Pasukan Pertahanan Protektorat Kepulauan Solomon Britania - Wikipedia  bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

a. Penyelesaian Awal dan Kontak Eropa

Solomon Islands telah dihuni sejak setidaknya 30.000–28.000 SM oleh penduduk asli dari Kepulauan Bismarck dan New Guinea, yang dikenal sebagai kelompok Papuan. Sekitar 4000 SM, penutur bahasa Austronesia tiba, membawa teknologi pertanian dan maritim baru, yang membentuk keragaman budaya dan bahasa di kepulauan ini. Saat ini, terdapat 63 bahasa berbeda di Solomon Islands, dengan Pijin sebagai bahasa umum dan Inggris sebagai bahasa resmi.

Kontak Eropa pertama terjadi pada 7 Februari 1568, ketika penjelajah Spanyol Álvaro de Mendaña de Neira mendarat di Pulau Santa Isabel. Mendaña, yang menemukan sedikit emas di muara Sungai Mataniko (sekarang di Guadalcanal), salah mengira kepulauan ini sebagai lokasi Ophir, kota kaya yang disebut dalam Alkitab sebagai sumber kekayaan Raja Salomo. Oleh karena itu, kepulauan ini dinamakan Islas Salomón (Kepulauan Salomo). Namun, klaim kekayaan ini terbukti tidak benar, dan Spanyol tidak mendirikan pemukiman permanen.

Setelah kunjungan Mendaña, kepulauan ini jarang dikunjungi Eropa hingga abad ke-18, ketika misionaris, pedagang, dan perekrut tenaga kerja mulai berdatangan. Pada 1886, Inggris dan Jerman membagi kepulauan ini, tetapi pada 1900, Jerman menyerahkan kepemilikannya kepada Inggris, menjadikan seluruh Solomon Islands (kecuali Buka dan Bougainville, yang kini bagian dari Papua New Guinea) sebagai Protektorat Kepulauan Solomon Inggris (British Solomon Islands Protectorate).

b. Era Kolonial dan Perang Dunia II

Selama periode kolonial, Inggris mengelola kepulauan ini dengan administrasi minimal, berfokus pada perdagangan dan perkebunan kelapa. Tulagi menjadi ibu kota protektorat hingga Perang Dunia II. Pada 1942, Jepang menginvasi Solomon Islands, menduduki Guadalcanal dan pulau-pulau lain untuk membangun pangkalan militer. Pertempuran Guadalcanal (1942–1943) menjadi salah satu pertempuran paling sengit di teater Pasifik, dengan pasukan Sekutu (terutama AS dan Australia) akhirnya mengusir Jepang pada Februari 1943. Pertempuran ini meninggalkan infrastruktur penting, seperti Lapangan Terbang Henderson di Guadalcanal, yang kemudian menjadi dasar pembangunan ibu kota baru, Honiara.

Kehadiran Amerika selama perang memicu sentimen nasionalisme di kalangan penduduk lokal, terutama di Malaita, melalui gerakan Marching Rule. Gerakan ini menentang otoritas kolonial, menuntut kemerdekaan, menolak pajak, dan mengadvokasi kembalinya tradisi lokal. Meskipun gerakan ini diredam pada 1948 dengan penahanan pemimpinnya, Marching Rule menjadi cikal bakal kesadaran politik di Solomon Islands.

2. Menuju Pemerintahan Sendiri

Australian Federal Police gives Solomon Islands police semi-automatic  rifles, vehicles - ABC News

a. Perkembangan Politik Pasca-Perang

Pasca-Perang Dunia II, Inggris menghadapi tekanan global untuk dekolonisasi, didorong oleh resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan melemahnya kemampuan ekonomi Inggris untuk mempertahankan koloni. Di Solomon Islands, Inggris mulai mempersiapkan pemerintahan sendiri dengan mendirikan Dewan Eksekutif dan Legislatif pada 1960, yang mulai melibatkan perwakilan terpilih dari penduduk lokal pada 1964 dan diperluas pada 1967.

Pada 1970, konstitusi baru menggabungkan kedua dewan menjadi Dewan Pemerintahan (Governing Council), tetapi Gubernur Inggris masih memegang kekuasaan besar. Ketidakpuasan terhadap sistem ini mendorong pembentukan konstitusi baru pada 1974, yang mengurangi kekuasaan gubernur dan memperkenalkan posisi Ketua Menteri (Chief Minister). Solomon Mamaloni, seorang tokoh politik penting, menjadi Ketua Menteri pertama pada 27 Agustus 1974, menandai langkah besar menuju pemerintahan lokal.

b. Pengaruh Dekolonisasi Regional

Kemerdekaan Papua New Guinea dari Australia pada 1975 memengaruhi Solomon Islands, terutama di wilayah barat seperti Choiseul dan Kepulauan Shortland, yang dekat dengan Bougainville (bagian dari Papua New Guinea). Gerakan separatis Bougainville memicu diskusi tentang kemungkinan bergabung dengan Bougainville, tetapi sebagian besar penduduk Solomon Islands memilih untuk tetap bersatu. Krisis minyak global 1973 juga meningkatkan biaya administrasi protektorat, mendorong Inggris untuk mempercepat proses kemerdekaan.

Pada Mei 1975, delegasi Solomon Islands yang dipimpin oleh Solomon Mamaloni bertemu dengan pejabat Inggris di London untuk menetapkan jadwal pemerintahan sendiri pada akhir 1975 dan kemerdekaan dalam 12–18 bulan. Pada 22 Juni 1975, nama resmi protektorat diubah dari British Solomon Islands Protectorate menjadi The Solomon Islands, mencerminkan identitas nasional yang baru. Pemerintahan sendiri secara internal dicapai pada 2 Januari 1976, dengan Sir Peter Kenilorea sebagai Ketua Menteri.

c. Konferensi Konstitusi dan Persiapan Akhir

Pada 1977, konferensi konstitusi di London menghasilkan kesepakatan bahwa Solomon Islands akan menjadi monarki konstitusional dalam Persemakmuran (Commonwealth), dengan Ratu Elizabeth II sebagai Kepala Negara, diwakili oleh Gubernur Jenderal yang dipilih atas saran Perdana Menteri. Keputusan ini menolak usulan untuk menjadi republik dan menyelesaikan isu seperti status komunitas Gilbertese dan Tionghoa serta kepemilikan tanah. Konferensi ini juga menegaskan bahwa kemerdekaan penuh akan dicapai pada 7 Juli 1978.

Namun, tidak semua wilayah mendukung kemerdekaan di bawah pemerintahan terpusat di Honiara. Kepulauan Barat, khawatir akan dominasi Malaita atau Honiara, membentuk Western Breakaway Movement, yang menuntut otonomi lebih besar. Meskipun demikian, persatuan nasional tetap terjaga menjelang kemerdekaan.

3. Hari Kemerdekaan: 7 Juli 1978 7 Juli 1978, Kepulauan Solomon Resmi Merdeka : Okezone News

Pada 7 Juli 1978, Solomon Islands secara resmi meraih kemerdekaan melalui Solomon Islands Act 1978, yang menggabungkan wilayah tersebut ke dalam dominion Ratu Elizabeth II. Upacara kemerdekaan diadakan di Honiara, dihadiri oleh pejabat Inggris, perwakilan Persemakmuran, dan tokoh lokal. Sir Peter Kenilorea, yang memimpin negosiasi kemerdekaan, secara otomatis menjadi Perdana Menteri pertama, mewakili Partai Persatuan Kepulauan Solomon (Solomon Islands United Party, SIUP). Nama resmi negara menjadi Solomon Islands (tanpa artikel “The”), meskipun istilah “the Solomons” masih digunakan secara kolokial.

Solomon Islands menjadi monarki konstitusional dengan sistem demokrasi parlementer, dengan Parlemen Nasional unikameral yang terdiri dari 47 anggota (kemudian meningkat menjadi 50), dipilih setiap empat tahun. Gubernur Jenderal, yang harus warga negara Solomon Islands, diangkat untuk masa jabatan hingga lima tahun. Sistem politik ditandai dengan partai politik yang lemah dan koalisi parlementer yang tidak stabil, sering kali menyebabkan perubahan pemerintahan melalui mosi tidak percaya.

Australia menjadi negara pertama yang menjalin hubungan diplomatik dengan Solomon Islands pada hari kemerdekaan, diikuti oleh Amerika Serikat, yang mengakui kedaulatan Solomon Islands melalui surat dari Presiden Jimmy Carter yang disampaikan oleh Senator John H. Glenn. Hubungan diplomatik AS-Solomon Islands resmi terjalin pada 9 Oktober 1978.

4. Tantangan Pasca-Kemerdekaan

a. Ketidakstabilan Politik

Pasca-kemerdekaan, Solomon Islands menghadapi tantangan dalam membangun stabilitas politik. Sistem partai yang lemah menyebabkan seringnya pergantian perdana menteri. Peter Kenilorea menjabat hingga 1981, digantikan oleh Solomon Mamaloni dari Partai Aliansi Rakyat (People’s Alliance Party, PAP) setelah mosi tidak percaya. Mamaloni menjabat beberapa kali (1981–1984, 1989–1993, 1994–1997), diikuti oleh tokoh lain seperti Ezekiel Alebua dan Francis Billy Hilly. Ketidakstabilan ini diperparah oleh koalisi parlementer yang cair dan mosi tidak percaya yang sering terjadi.

b. Konflik Etnis: The Tensions (1998–2003)

Pada 1998, Solomon Islands mengalami konflik etnis yang dikenal sebagai The Tensions, terutama di Guadalcanal dan Malaita. Penduduk asli Guadalcanal, yang merasa tersisih oleh migran Malaita yang mendominasi ekonomi Honiara, membentuk Isatabu Freedom Movement. Sebagai respons, migran Malaita mendirikan Malaita Eagle Force, yang pada Juni 2000 memaksa Perdana Menteri Bartholomew Ulufa’alu mengundurkan diri. Konflik ini menyebabkan lebih dari 20.000 migran Malaita diusir dari Guadalcanal, memicu kekerasan dan kerusuhan.

Pada 2000, perjanjian damai ditandatangani, tetapi kekerasan berlanjut di wilayah terpencil seperti Weathercoast, dipimpin oleh militan seperti Harold Keke. Pada Juli 2003, atas permintaan Perdana Menteri Allan Kemakeza, Regional Assistance Mission to Solomon Islands (RAMSI), yang dipimpin Australia dan melibatkan Selandia Baru serta negara-negara Pasifik lainnya, dikerahkan untuk memulihkan ketertiban. RAMSI berhasil melucuti senjata, menangkap Keke, dan mendukung pembangunan institusi nasional hingga misi berakhir pada 2017.

c. Ketegangan Diplomatik dan Ekonomi

Pada 2019, pemerintahan Perdana Menteri Manasseh Sogavare memutuskan hubungan diplomatik dengan Taiwan dan menjalin hubungan dengan Tiongkok, memicu kontroversi domestik. Provinsi Malaita, yang dipimpin oleh Premier Daniel Suidani, menentang keputusan ini dan menerima bantuan dari Taiwan dan AS, termasuk US$25 juta pada 2020. Ketegangan ini memuncak pada November 2021, ketika protes di Honiara, yang didorong oleh ketidakpuasan ekonomi dan marginalisasi Malaita, berubah menjadi kerusuhan selama tiga hari. Kerusuhan ini juga dipicu oleh ketidakpuasan terhadap hubungan dengan Tiongkok.

Pada 2022, pakta keamanan antara Solomon Islands dan Tiongkok memicu kekhawatiran di antara sekutu Barat, seperti Australia dan AS, yang khawatir Tiongkok akan membangun pangkalan militer. Sogavare membantah tuduhan ini, tetapi pakta tersebut menandai pergeseran geopolitik di kawasan Pasifik.

d. Tantangan Lingkungan

Sebagai negara kepulauan, Solomon Islands sangat rentan terhadap perubahan iklim, terutama kenaikan permukaan laut. Pada abad ke-21, pemerintah menyusun rencana adaptasi, termasuk pengelolaan sumber air, ketahanan pangan, dan relokasi komunitas pesisir. Tantangan ini menambah kompleksitas pembangunan nasional pasca-kemerdekaan.

5. Dampak dan Warisan Kemerdekaan

Kemerdekaan Solomon Islands pada 7 Juli 1978 adalah tonggak sejarah yang menandai kedaulatan dan identitas nasional. Sebagai anggota Persemakmuran, Solomon Islands mempertahankan hubungan erat dengan Inggris dan negara-negara Pasifik lainnya, terutama Australia. Sistem demokrasi parlementer, meskipun menghadapi tantangan, telah memungkinkan partisipasi politik yang luas, dengan sembilan provinsi yang memiliki majelis provinsial dan premier sendiri.

Peran tokoh seperti Peter Kenilorea dan Solomon Mamaloni sangat penting dalam membentuk fondasi negara. Kenilorea, yang dikenal karena kepemimpinannya yang stabil, dan Mamaloni, yang sering kali kontroversial namun berpengaruh, mewakili dinamika politik awal Solomon Islands.

Hari Kemerdekaan diperingati setiap 7 Juli sebagai hari libur nasional, dengan perayaan terbesar di Honiara. Pada 2024, Perdana Menteri Jeremiah Manele menyoroti keberhasilan seperti penyelenggaraan Pacific Games 2023 sebagai bukti kemajuan nasional, meskipun tantangan seperti ketidakstabilan politik dan ekonomi tetap ada.

6. Kesimpulan

Sejarah kemerdekaan Solomon Islands adalah kisah ketahanan, adaptasi, dan transformasi. Dari protektorat Inggris yang minim administrasi hingga negara berdaulat dengan sistem monarki konstitusional, Solomon Islands telah menavigasi tantangan kolonialisme, perang, dan konflik internal untuk membangun identitas nasionalnya. Peran Perang Dunia II, gerakan nasionalisme seperti Marching Rule, dan tekanan dekolonisasi global membentuk jalur menuju kemerdekaan pada 7 Juli 1978. Meskipun menghadapi ketidakstabilan politik, konflik etnis, dan tantangan lingkungan pasca-kemerdekaan, Solomon Islands terus berupaya membangun masa depan yang stabil dan sejahtera sebagai bagian dari komunitas Pasifik dan Persemakmuran.

Kemerdekaan Solomon Islands bukan hanya peristiwa historis, tetapi juga cerminan semangat rakyatnya untuk menentukan nasib sendiri. Dengan kekayaan budaya, keberagaman bahasa, dan lanskap alam yang memukau, Solomon Islands tetap menjadi negara yang dinamis, terus menulis sejarahnya di tengah dunia yang berubah. Untuk memahami lebih lanjut, sumber seperti Solomon Islands Encyclopaedia dan laporan Britannica dapat memberikan wawasan tambahan tentang perjalanan negara ini.

BACA JUGA: Pengertian dan Perbedaan Paham Komunisme Menurut Marxisme: Analisis Mendalam

BACA JUGA: Tim Berners-Lee: Pencetus World Wide Web dan Karya Revolusioner yang Mengubah Dunia

BACA JUGA: Dampak Positif dan Negatif Media Sosial di Era 2025: Peluang dan Tantangan dalam Kehidupan Digital