Sejarah Kemerdekaan Slovenia: Perjuangan Menuju Kedaulatan

Sejarah Kemerdekaan Slovenia: Perjuangan Menuju Kedaulatan

marylandleather.com, 12 MEI 2025

Penulis: Riyan Wicaksono

Editor: Muhammad Kadafi

Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88

 

 

Slovenia, sebuah negara kecil di Eropa Tengah yang berbatasan dengan Italia, Austria, Hungaria, Kroasia, dan memiliki garis pantai pendek di Laut Adriatik, memiliki sejarah panjang yang penuh dengan perjuangan untuk mencapai kemerdekaan. Pada 25 Juni 1991, Slovenia secara resmi memproklamasikan kemerdekaannya dari Republik Federal Sosialis Yugoslavia, sebuah peristiwa yang menandai puncak dari proses panjang menuju kedaulatan. Kemerdekaan ini tidak diraih dengan mudah; Slovenia harus menghadapi tantangan politik, sosial, dan militer, termasuk Perang Sepuluh Hari yang singkat namun signifikan. Artikel ini akan menguraikan secara mendetail sejarah kemerdekaan Slovenia, mulai dari akar sejarahnya hingga integrasi ke dalam komunitas internasional.

Latar Belakang Sejarah

Awal Sejarah dan Pengaruh Kekaisaran

  Perang 10 Hari Antar Slovenia Gapai Kemerdekaan    

Wilayah yang kini menjadi Slovenia telah dihuni sejak zaman prasejarah, dengan bukti arkeologi seperti seruling Divje Babe (diyakini berusia 55.000 tahun) dan roda kayu Ljubljana Marshes (berusia lebih dari 5.000 tahun) yang menunjukkan keberadaan peradaban awal. Pada zaman kuno, wilayah ini dikuasai oleh suku-suku Illyria dan Kelt, sebelum akhirnya menjadi bagian dari Kekaisaran Romawi pada abad ke-1 SM. Kota-kota Romawi seperti Emona (kini Ljubljana), Celeia (Celje), dan Poetovio (Ptuj) menjadi pusat perdagangan dan militer.

Pada abad ke-6 M, suku Slavia Selatan, nenek moyang orang Slovenia modern, bermigrasi ke wilayah Alpen Timur. Mereka mendirikan pemukiman di bawah tekanan dari suku Avar dan kemudian membentuk Kerajaan Samo (623–658), yang dianggap sebagai entitas politik Slavia pertama di kawasan ini. Setelah kerajaan ini runtuh, wilayah Slovenia menjadi bagian dari Kerajaan Karantania, sebuah kadipaten Slavia yang merdeka hingga dianeksasi oleh Kekaisaran Frank pada tahun 745. Karantania terkenal dengan tradisi pelantikan penguasa di “Batu Pangeran” (Knežji kamen), sebuah praktik yang berlangsung hingga abad ke-15 dan bahkan menginspirasi pemikir seperti Thomas Jefferson.

Selama hampir seribu tahun, wilayah Slovenia berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Romawi Suci, kemudian Kekaisaran Habsburg mulai abad ke-14. Wilayah ini terbagi menjadi beberapa wilayah historis seperti Carniola, Carinthia, dan Styria, yang dikuasai oleh bangsawan Habsburg. Meskipun elite sering kali mengalami Germanisasi, petani Slovenia mempertahankan bahasa dan budaya Slavia mereka. Reformasi Protestan pada abad ke-16 menjadi titik balik budaya, dengan tokoh seperti Primož Trubar menerbitkan buku-buku pertama dalam bahasa Slovenia, termasuk Catechismus dan Abecedarium pada tahun 1550, yang meletakkan dasar bagi sastra Slovenia.

Slovenia dalam Kekaisaran Austria-Hungaria

    5 Fakta Perang 10 Hari, Berakhirnya Yusgolavia Jadi Awal Berdirinya Slovenia      

Pada abad ke-19, Slovenia menjadi bagian dari Kekaisaran Austria-Hungaria. Partai Rakyat Slovenia mulai mendorong gagasan penentuan nasib sendiri, mengusulkan pembentukan negara Slavia Selatan semi-merdeka di bawah Habsburg. Usulan ini, yang dikenal sebagai Gerakan Deklarasi, mendapat dukungan luas dari masyarakat sipil Slovenia, tetapi ditolak oleh elit politik Austria.

Setelah kekalahan Austria-Hungaria dalam Perang Dunia I pada tahun 1918, Kekaisaran Habsburg runtuh. Pada 6 Oktober 1918, Dewan Nasional Slovenia, Kroasia, dan Serbia mengambil alih kekuasaan di Zagreb. Pada 29 Oktober 1918, kemerdekaan Negara Slovenia, Kroasia, dan Serbia dideklarasikan di Ljubljana dan Zagreb. Namun, pada 1 Desember 1918, negara ini bergabung dengan Kerajaan Serbia untuk membentuk Kerajaan Serbia, Kroasia, dan Slovenia, yang pada tahun 1929 berganti nama menjadi Kerajaan Yugoslavia.

Slovenia di Yugoslavia

Kerajaan Yugoslavia ditandai dengan ketegangan etnis, terutama antara Serbia yang menginginkan negara kesatuan dan Kroasia yang mendukung federalisme. Slovenia, meskipun relatif makmur, sering kali merasa terpinggirkan dalam struktur politik yang didominasi Serbia. Selama Perang Dunia II, Slovenia diduduki oleh Jerman, Italia, dan Hungaria, dengan sebagian kecil wilayah diserahkan ke Negara Kroasia Merdeka, sebuah negara boneka Nazi. Perlawanan terhadap pendudukan dilakukan oleh partisan yang dipimpin oleh Josip Broz Tito, yang kemudian membentuk kembali Yugoslavia sebagai Republik Federal Sosialis Yugoslavia pada tahun 1945. Slovenia menjadi salah satu dari enam republik dalam federasi ini.

Yugoslavia pasca-perang di bawah Tito mengadopsi model sosialisme yang lebih fleksibel dibandingkan negara-negara Blok Timur lainnya, terutama setelah perpecahan Tito-Stalin pada tahun 1948. Slovenia, sebagai republik paling maju secara ekonomi, menyumbang sepertiga dari ekspor Yugoslavia meskipun hanya memiliki sepersembilan dari total populasi. Wilayah pesisir Slovenia dan bagian barat Karniola Dalam, yang dianeksasi Italia setelah Perang Dunia I, dikembalikan ke Slovenia pada tahun 1947.

Namun, setelah kematian Tito pada tahun 1980, Yugoslavia menghadapi krisis ekonomi dan politik. Ketegangan etnis meningkat, diperparah oleh kebijakan nasionalis Serbia di bawah Slobodan Milošević, yang berkuasa pada tahun 1987. Milošević berupaya memusatkan kekuasaan di Serbia, yang memicu reaksi dari Slovenia dan Kroasia, yang mendukung demokratisasi dan otonomi lebih besar.

Jalan Menuju Kemerdekaan

    Perang Kemerdekaan Indonesia (Bergambar) ~ Racik Meracik Ilmu      

Kebangkitan Nasionalisme dan Demokratisasi

Pada akhir 1980-an, Slovenia mengalami kebangkitan nasionalisme yang didorong oleh krisis ekonomi dan melemahnya ideologi komunis di Eropa Timur. Pada tahun 1987, sekelompok cendekiawan menerbitkan artikel di majalah Nova revija edisi ke-57, menyerukan kemerdekaan Slovenia. Artikel ini menjadi katalis penting, memicu diskusi publik tentang kedaulatan.

Gerakan demokrasi massa, yang dikoordinasikan oleh Komite Pembela Hak Asasi Manusia, mendorong reformasi demokrasi. Pada September 1989, Republik Sosialis Slovenia mengesahkan sejumlah amandemen konstitusi yang memperkenalkan demokrasi parlementer. Istilah “Sosialis” dihapus dari nama republik pada 7 Maret 1990, menandakan peralihan ideologi. Pada April 1990, Slovenia mengadakan pemilihan umum multipartai pertama, di mana koalisi oposisi DEMOS, yang dipimpin oleh Jože Pučnik, memenangkan mayoritas di parlemen. Milan Kučan, mantan ketua Liga Komunis Slovenia, terpilih sebagai presiden, sementara Lojze Peterle dari Partai Demokrat Kristen menjadi perdana menteri.

Referendum Kemerdekaan

Pada 23 Desember 1990, Slovenia mengadakan referendum kemerdekaan. Sebanyak 93,2% pemilih berpartisipasi, dengan 94,8% (88,5% dari total pemilih) mendukung pemisahan dari Yugoslavia. Hasil ini mencerminkan konsensus kuat di kalangan rakyat Slovenia untuk mendirikan negara merdeka. Pada 25 Juni 1991, parlemen Slovenia mengesahkan undang-undang kemerdekaan, secara resmi memproklamasikan Republik Slovenia sebagai negara berdaulat.

Perang Sepuluh Hari

Proklamasi kemerdekaan Slovenia memicu respons militer dari pemerintah federal Yugoslavia, yang masih berusaha mempertahankan keutuhan federasi. Pada 26 Juni 1991, Angkatan Bersenjata Rakyat Yugoslavia (JNA) melancarkan operasi untuk menguasai perbatasan Slovenia, terutama dengan Italia, guna mengisolasi Slovenia dari dunia luar.

Namun, Slovenia telah mempersiapkan diri untuk kemungkinan konflik. Di bawah kepemimpinan Presiden Milan Kučan, Menteri Pertahanan Janez Janša, dan Panglima Jenderal Janez Slapar, Slovenia membentuk Pasukan Manuver Perlindungan Nasional (MSNZ), yang kemudian menjadi cikal bakal angkatan bersenjata nasional. Slovenia juga membeli rudal anti-pesawat dan anti-tank dari Jerman, yang mendukung gerakan kemerdekaan Slovenia.

Perang Sepuluh Hari (27 Juni–6 Juli 1991) ditandai dengan serangkaian bentrokan bersenjata. Pasukan Slovenia, yang terdiri dari sekitar 15.000 tentara reguler dan milisi terlatih, berhasil menghambat kemajuan JNA. Pertempuran utama terjadi di perbatasan dan sekitar Ljubljana, dengan Slovenia menggunakan taktik gerilya dan pertahanan strategis. Moral JNA rendah, dan banyak prajuritnya, yang berasal dari berbagai etnis, enggan bertempur.

Pada 4 Juli 1991, setelah serangkaian kekalahan, JNA setuju untuk gencatan senjata. Perang ini merenggut 76 nyawa, dengan 19 korban dari pihak Slovenia, 44 dari JNA, dan 12 warga asing (kebanyakan awak truk). Jumlah korban yang relatif kecil mencerminkan durasi perang yang singkat dan kurangnya komitmen penuh dari JNA, yang lebih fokus pada konflik di Kroasia.

Pengakuan Internasional dan Integrasi Global

Setelah Perang Sepuluh Hari, Slovenia dan Yugoslavia menandatangani Perjanjian Brioni pada 7 Juli 1991, yang menghentikan permusuhan dan menunda implementasi kemerdekaan Slovenia selama tiga bulan. Pada akhir 1991, komunitas internasional mulai mengakui Slovenia sebagai negara berdaulat. Kroasia adalah negara pertama yang mengakui Slovenia, diikuti oleh negara-negara Eropa seperti Jerman. Pada 15 Januari 1992, Komisi Arbitrasi Masyarakat Eropa menyatakan bahwa Slovenia memenuhi syarat untuk pengakuan internasional. Amerika Serikat mengakui Slovenia pada 6 April 1992, dan pada 22 Mei 1992, Slovenia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Slovenia dengan cepat berintegrasi ke dalam komunitas internasional. Pada 29 Maret 2004, Slovenia bergabung dengan NATO, dan pada 1 Mei 2004, menjadi anggota Uni Eropa (UE). Slovenia bahkan memegang presidensi Dewan Uni Eropa pada tahun 2008, menandakan posisinya sebagai anggota aktif di Eropa. Ekonomi Slovenia, yang sudah menjadi yang paling maju di antara republik-republik Yugoslavia, terus berkembang dengan fokus pada industri seperti metalurgi, elektronik, dan pariwisata.

Warisan dan Signifikansi

Kemerdekaan Slovenia pada tahun 1991 tidak hanya menandai kelahiran sebuah negara baru, tetapi juga menjadi katalis bagi disintegrasi Yugoslavia. Berbeda dengan Kroasia dan Bosnia-Herzegovina, yang mengalami perang berkepanjangan, Slovenia berhasil menghindari konflik besar karena persiapan militer yang matang, dukungan internasional, dan homogenitas etnisnya (83,1% penduduk adalah etnis Slovenia pada tahun 2002).

Perang Sepuluh Hari dianggap sebagai perang kemerdekaan nasional yang sukses dengan korban minimal, menjadikannya salah satu transisi paling mulus di antara negara-negara pecahan Yugoslavia. Hari Kemerdekaan Slovenia, yang diperingati setiap 25 Juni, dan Hari Persatuan dan Kemerdekaan, yang diperingati pada 26 Desember untuk memperingati hasil referendum 1990, tetap menjadi simbol kebanggaan nasional.

Slovenia modern dikenal sebagai negara yang stabil, makmur, dan ramah lingkungan, dengan ibu kota Ljubljana yang dinobatkan sebagai ibu kota terhijau Eropa pada tahun 2016. Warisan budaya Slovenia, yang dipengaruhi oleh Reformasi Protestan, sastra abad ke-16, dan tokoh seperti France Prešeren, terus memperkuat identitas nasional.

Kesimpulan

Sejarah kemerdekaan Slovenia adalah kisah perjuangan, ketahanan, dan visi untuk masa depan yang lebih baik. Dari akarnya sebagai bagian dari kekaisaran besar hingga perjuangan melawan dominasi Yugoslavia, Slovenia berhasil mencapai kedaulatan melalui kombinasi gerakan intelektual, reformasi demokratis, dan perlawanan bersenjata yang terorganisasi. Kemerdekaan pada tahun 1991 bukan hanya akhir dari era Yugoslavia, tetapi juga awal dari babak baru bagi Slovenia sebagai negara modern yang terintegrasi dengan Eropa dan dunia. Dengan ekonomi yang kuat, budaya yang kaya, dan komitmen terhadap demokrasi, Slovenia tetap menjadi contoh sukses transisi dari federasi sosialis menjadi negara merdeka yang makmur.

BACA JUGA: Kehidupan Seperti Catur: Ketidak pastian Langkah demi Langkah Walaupun Meski Manusia Penuh Dengan Skenario

BACA JUGA: Masalah Sosial di Indonesia pada Tahun 1900-an: Dampak Kolonialisme dan Kebangkitan Kesadaran Sosial

BACA JUGA: Perkembangan Teknologi Militer Portugal: Dari Era Penjelajahan hingga Abad Modern