marylandleather.com, 22 MEI 2025
Penulis: Riyan Wicaksono
Editor: Muhammad Kadafi
Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88
Saint Lucia, sebuah negara pulau di Karibia Timur yang merupakan bagian dari Kepulauan Windward di Lesser Antilles, meraih kemerdekaan penuh dari Inggris pada 22 Februari 1979. Dikenal sebagai “Helen of the West Indies” karena sering berpindah tangan antara Inggris dan Prancis selama era kolonial, Saint Lucia memiliki sejarah yang kaya dan kompleks yang membentuk identitas nasionalnya. Dari penduduk asli Arawak dan Kalinago, melalui kolonisasi Eropa, hingga perjuangan menuju pemerintahan sendiri, perjalanan Saint Lucia menuju kemerdekaan mencerminkan ketahanan, adaptasi budaya, dan semangat untuk menentukan nasib sendiri. Artikel ini menyajikan sejarah kemerdekaan Saint Lucia secara mendalam, berdasarkan sumber-sumber terpercaya hingga Mei 2025, dengan fokus pada peristiwa penting, tokoh kunci, dan dampak kemerdekaan terhadap perkembangan politik, sosial, dan budaya negara ini.
Latar Belakang Pra-Kolonial
Penduduk Asli: Arawak dan Kalinago
Saint Lucia pertama kali dihuni oleh suku Ciboney sekitar 1000–500 SM, meskipun bukti arkeologi tentang keberadaan mereka terbatas. Penduduk pertama yang terdokumentasi dengan baik adalah Arawak, yang diyakini bermigrasi dari Amerika Selatan Utara sekitar 200–400 M. Mereka menyebut pulau ini Iouanalao, yang berarti “Pulau Iguana,” karena banyaknya iguana di pulau tersebut. Arawak dikenal sebagai masyarakat agraris yang damai dengan kerajinan tembikar yang canggih, sebagaimana dibuktikan oleh situs arkeologi di pulau ini (Encyclopaedia Britannica, 2025).
Sekitar tahun 800 M, suku Kalinago (juga dikenal sebagai Carib) tiba dan mengambil alih pulau, mengasimilasi budaya Arawak. Kalinago menyebut pulau Hewanorra, sebuah nama yang masih digunakan untuk bandara internasional Saint Lucia. Kalinago adalah pelaut dan pejuang yang tangguh, yang berhasil menahan upaya kolonisasi Eropa selama berabad-abad. Ketahanan mereka terhadap penjajah membentuk reputasi Saint Lucia sebagai pulau yang sulit ditaklukkan (Saint Lucia Electoral Department).
Periode Kolonial: Persaingan Inggris dan Prancis
Penemuan Eropa dan Upaya Kolonisasi Awal
Tanggal pasti penemuan Saint Lucia oleh Eropa tidak diketahui, tetapi diperkirakan sekitar tahun 1500. Beberapa sumber menyebutkan bahwa Christopher Columbus mungkin melihat pulau ini pada pelayaran keempatnya pada 1502, meskipun ia tidak mencatatnya dalam log perjalanannya. Peta Spanyol tahun 1500 oleh Juan de la Cosa menyebut pulau ini sebagai El Falcon, dan sebuah globe Vatikan tahun 1502 menunjukkan pulau sebagai Santa Lucia. Namun, klaim Spanyol atas pulau ini tidak diikuti dengan kolonisasi aktif (Wikipedia, 2025).
Pada akhir 1550-an, bajak laut Prancis François le Clerc (dikenal sebagai Jambe de Bois karena kaki kayunya) mendirikan kamp di Pigeon Island, menggunakan pulau ini sebagai basis untuk menyerang kapal-kapal Spanyol. Upaya kolonisasi pertama yang signifikan terjadi pada 1605, ketika kapal Inggris Oliphe Blossome terdampar di Saint Lucia. Sebanyak 67 kolonis Inggris mendirikan pemukiman, tetapi sebagian besar dibantai oleh Kalinago dalam beberapa bulan (Encyclopaedia Britannica, 2025).
Pada 1635, baik Inggris maupun Prancis mengklaim Saint Lucia. Inggris mengirim pemukim dari Bermuda, sementara Prancis, melalui Pierre Belain d’Esnambuc, mengklaim pulau tersebut pada 8 Maret 1635. Namun, upaya Inggris pada 1640 di Praslin Bay gagal setelah serangan Kalinago, menyisakan hanya sedikit kolonis yang selamat (Wikipedia, 2025).
Kolonisasi Prancis dan Inggris 
Pada 1650, Prancis dari Martinique berhasil mendirikan pemukiman permanen di Saint Lucia, menandatangani perjanjian dengan Kalinago pada 1660. Pemukiman ini, dipimpin oleh Louis de Kerengoan, Sieur de Rousselan, didirikan di muara Rivière du Carenage (sekarang Castries). Prancis memperluas pengaruh mereka, membawa budak Afrika untuk bekerja di perkebunan gula dan kapas (Saint Lucia Electoral Department).
Namun, persaingan antara Inggris dan Prancis memicu konflik berkepanjangan. Antara 1663 dan 1803, Saint Lucia berpindah tangan sebanyak 14 kali, mendapatkan julukan “Helen of the West Indies” karena sering diperebutkan, mirip dengan Helen of Troy dalam mitologi Yunani (National Today, 2022). Peristiwa penting selama periode ini meliputi:
-
1664–1667: Inggris mengambil alih di bawah Thomas Warner, tetapi Prancis merebut kembali pulau tersebut.
-
Treaty of Breda (1667): Mengembalikan Saint Lucia ke Prancis.
-
Treaty of Aix-la-Chapelle (1748): Menetapkan Saint Lucia sebagai wilayah netral, tetapi konflik berlanjut.
-
1762: Laksamana Inggris George Rodney dan Jenderal Robert Monckton menaklukkan pulau.
-
Treaty of Paris (1763): Mengembalikan Saint Lucia ke Prancis.
-
1778: Inggris menggunakan pelabuhan Saint Lucia sebagai basis angkatan laut selama Perang Revolusi Amerika.
-
Battle of the Saintes (1782): Kemenangan angkatan laut Inggris di lepas Saint Lucia memastikan dominasi mereka di Karibia (BBC News, 2024).
Pada 1803, Inggris menguasai Saint Lucia secara permanen, dan Treaty of Paris (1814) secara resmi menyerahkan pulau ini kepada Inggris, menjadikannya koloni mahkota. Prancis meninggalkan warisan budaya yang kuat, termasuk dominasi Gereja Katolik Roma dan penggunaan patois Prancis (Encyclopaedia Britannica, 2025).
Perbudakan dan Emansipasi 
Selama era kolonial, Inggris dan Prancis membawa ribuan budak Afrika untuk bekerja di perkebunan gula, kapas, dan kakao. Pada 1834, ketika Inggris menghapus perbudakan, Saint Lucia memiliki lebih dari 13.000 budak Afrika, 2.600 orang kulit hitam merdeka, dan 2.300 orang kulit putih. Namun, mantan budak diwajibkan menjalani “magang” selama empat tahun, bekerja secara gratis untuk mantan tuan mereka selama tiga perempat minggu, hingga memperoleh kebebasan penuh pada 1838 (Encyclopaedia Britannica, 2025).
Pada 1794, selama Revolusi Prancis, Prancis membebaskan budak di Saint Lucia dan membentuk L’Armée Française des Bois, pasukan yang terdiri dari mantan budak, untuk melawan Inggris. Namun, Inggris merebut kembali pulau pada 1796 dan memberlakukan kembali perbudakan hingga 1834 (British Online Archives, 2024).
Menuju Kemerdekaan: Pemerintahan Sendiri :strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4968526/original/000021800_1728894962-1024px-Surrender_of_Lord_Cornwallis.jpg)
Awal Pemerintahan Representatif
Pada abad ke-20, Saint Lucia mengalami peningkatan otonomi. Konstitusi 1924 memperkenalkan pemerintahan representatif dengan sebagian anggota dewan legislatif dipilih, meskipun masih didominasi oleh penunjukan kolonial. Hak pilih universal diberlakukan pada 1951, memungkinkan semua orang dewasa untuk memilih, dan anggota terpilih menjadi mayoritas di dewan legislatif. Pada 1956, pemerintahan menteri diperkenalkan, memberikan tanggung jawab lebih besar kepada pejabat terpilih lokal (Encyclopaedia Britannica, 2025).
Pada 1838, Saint Lucia diintegrasikan ke dalam administrasi British Windward Islands yang berpusat di Barbados, hingga ibu kota dipindahkan ke Grenada pada 1885. Selama Perang Dunia II, Saint Lucia menghadapi serangan kapal selam Jerman pada 9 Maret 1942, yang menenggelamkan dua kapal Inggris di pelabuhan Castries, menyoroti pentingnya strategis pulau ini (Wikipedia, 2025).
Federasi Hindia Barat dan Asosiasi Negara
Pada 1958, Saint Lucia bergabung dengan West Indies Federation, sebuah dependensi semi-otonom Inggris yang mencakup beberapa pulau Karibia. Federasi ini bertujuan untuk mempersiapkan kemerdekaan kolektif, tetapi bubar pada 1962 setelah Jamaika menarik diri (Encyclopaedia Britannica, 2025).
Setelah kegagalan federasi, Inggris memperkenalkan status West Indies Associated States pada 1967 melalui West Indies Act. Saint Lucia menjadi salah satu dari enam negara anggota, memperoleh pemerintahan sendiri secara internal sementara Inggris tetap bertanggung jawab atas urusan luar negeri dan pertahanan. Status ini berlangsung dari 1 Maret 1967 hingga kemerdekaan penuh pada 1979 (Saint Lucia Electoral Department).
Perjuangan Politik Menuju Kemerdekaan
Perjalanan menuju kemerdekaan dipimpin oleh United Workers Party (UWP) di bawah John Compton, yang menjadi Perdana Menteri pertama Saint Lucia. Compton, yang menjabat sebagai kepala pemerintahan sejak 1964, memainkan peran kunci dalam negosiasi dengan Inggris. Pada 1960, konstitusi baru menghapus posisi gubernur Kepulauan Windward, memberikan Saint Lucia otonomi lebih besar dalam federasi (Encyclopaedia Britannica, 2025).
Pada 22 Februari 1979, Saint Lucia resmi meraih kemerdekaan sebagai monarki konstitusional dalam Persemakmuran, dengan Ratu Elizabeth II sebagai kepala negara, diwakili oleh Gubernur Jenderal lokal, Sir Allen Montgomery Lewis. Bendera nasional, dirancang oleh Dunstan St. Omer, diadopsi pada 1 Maret 1967 dan tetap digunakan setelah kemerdekaan, menampilkan segitiga putih dan hitam dengan segitiga emas pada latar biru, melambangkan harapan dan kemakmuran (Consulate General of Saint Lucia in New York).
Pasca-Kemerdekaan: Tantangan dan Perkembangan
Pemilu Pertama dan Ketidakstabilan Politik
Pemilu pertama pasca-kemerdekaan pada Juli 1979 dimenangkan oleh Saint Lucia Labour Party (SLP) di bawah Allan Louisy, mengalahkan UWP pimpinan Compton. SLP, yang cenderung kiri, menjalin hubungan dengan rezim sosialis seperti Kuba dan bergabung dengan Gerakan Non-Blok. Namun, upaya SLP untuk membangun ekonomi campuran gagal mengatasi masalah ekonomi, terutama setelah Badai Allen pada 1980 menghancurkan tanaman pisang, sumber utama ekspor. Ketidakstabilan politik dalam SLP menyebabkan pengunduran diri dua perdana menteri dalam dua tahun, dan pariwisata turun ke setengah tingkat pra-kemerdekaan (Encyclopaedia Britannica, 2025).
Pada Mei 1982, UWP kembali berkuasa di bawah Compton dengan platform investasi asing dan desentralisasi pemerintahan. Sektor pertanian, khususnya pisang, pulih secara bertahap, dan pariwisata meningkat seiring pemulihan ekonomi AS. UWP mempertahankan kekuasaan pada pemilu 1987 dan 1992 (Saint Lucia Electoral Department).
Perkembangan Politik dan Sosial
Sejak kemerdekaan, Saint Lucia telah mengalami pergantian kekuasaan antara UWP dan SLP, mencerminkan demokrasi parlementer yang dinamis. Pemilu penting meliputi:
-
1997: SLP di bawah Kenny Anthony memenangkan kemenangan telak, menjadi perdana menteri hingga 2006.
-
2006: UWP kembali berkuasa di bawah Stephenson King setelah kematian Compton pada 2007.
-
2011: SLP menang kembali dengan Kenny Anthony sebagai perdana menteri.
-
2016: UWP, dipimpin oleh Allen Chastanet, memenangkan 11 dari 17 kursi.
-
2021: SLP di bawah Philip J. Pierre memenangkan 13 kursi, menjadikannya Perdana Menteri kesembilan sejak kemerdekaan (BBC News, 2024).
Saint Lucia menghadapi tantangan pasca-kemerdekaan, termasuk tingkat pembunuhan yang tinggi (75 kasus pada 2021, rekor tertinggi sepanjang sejarah) dan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia oleh polisi. Pada 2015, tim investigasi Jamaika menemukan bahwa polisi Saint Lucia melakukan 12 pembunuhan di luar hukum antara 2010–2011, memicu reformasi kepolisian (Encyclopaedia Britannica, 2025).
Identitas Budaya dan Warisan
Kemerdekaan memperkuat identitas budaya Saint Lucia, yang merupakan perpaduan unik antara pengaruh Arawak, Kalinago, Afrika, Prancis, dan Inggris. Patois Prancis (Patwa) tetap menjadi bahasa mayoritas penduduk, meskipun Inggris adalah bahasa resmi. Hidangan nasional seperti green figs and saltfish dan bouyon mencerminkan warisan Afrika dan Karibia. Tarian Quadrille, diadopsi sebagai tarian nasional, dan kostum tradisional dipamerkan pada Hari Kemerdekaan, Hari Nasional, dan Jounen Kwéyòl (Hari Kreol) (Consulate General of Saint Lucia in New York).
Burung nasional, Saint Lucia Parrot (Amazona versicolor), endemik pulau ini, melambangkan keunikan ekologi Saint Lucia. Pitons, dua puncak vulkanik di Soufrière, ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO pada 2004, meningkatkan pariwisata, yang kini menjadi sumber pendapatan utama di samping pisang (CIA World Factbook, 2025).
Saint Lucia juga menghasilkan tokoh terkenal seperti Derek Walcott, penerima Nobel Sastra 1992, dan Sir Arthur Lewis, penerima Nobel Ekonomi 1979, yang memperkuat reputasi global pulau ini (Encyclopaedia Britannica, 2025).
Perayaan Kemerdekaan dan Relevansi Modern
Setiap 22 Februari, Saint Lucia merayakan Hari Kemerdekaan dengan parade militer, pawai jalanan, upacara keagamaan, pameran budaya, dan konser. Sehari sebelumnya, 21 Februari, diperingati sebagai National Colors Day, di mana warga mengenakan warna bendera nasional (biru, emas, hitam, dan putih). Perayaan ini mencerminkan kebanggaan nasional dan semangat komunitas, seperti yang diungkapkan dalam postingan X oleh @S_Fleary1 pada 22 Februari 2025: “Happy Independence Day St Lucia! 🎉🎉🇱🇨🇱🇨” (National Today, 2022; @S_Fleary1, 2025).
Pada 2024, Saint Lucia merayakan 45 tahun kemerdekaan dengan tema yang menekankan warisan budaya dan ketahanan. Acara meliputi pertandingan olahraga, pameran seni, dan festival musik calypso, menarik wisatawan dan memperkuat ekonomi lokal (Island Innovation, 2024).
Saint Lucia tetap aktif di organisasi regional dan internasional seperti CARICOM, Organisation of Eastern Caribbean States (OECS), Organisasi Negara-Negara Amerika, dan Organisation internationale de la Francophonie, mencerminkan warisan bilingualnya. Pada Mei 2025, Saint Lucia menghadiri forum di Beijing, menunjukkan keterlibatannya dalam diplomasi global (Encyclopaedia Britannica, 2025).
Tantangan dan Masa Depan
Meskipun merdeka, Saint Lucia menghadapi tantangan seperti ketergantungan pada pariwisata dan pisang, kerentanan terhadap bencana alam, dan masalah keamanan. Pada 2023, Saint Lucia beralih dari Judicial Committee of the Privy Council di London ke Caribbean Court of Justice sebagai pengadilan banding terakhir, menegaskan kedaulatan hukumnya (Wikipedia, 2025).
Ke depan, Saint Lucia berfokus pada pembangunan berkelanjutan, energi terbarukan, dan pemberdayaan pemuda, sebagaimana ditunjukkan oleh kemitraan dengan AS dan Taiwan dalam pendidikan dan kewirausahaan (U.S. Embassy, 2021). Dengan populasi sekitar 180.000 jiwa dan luas 617 km², Saint Lucia tetap menjadi negara kecil dengan pengaruh budaya dan diplomatik yang besar di Karibia (CIA World Factbook, 2025).
Kesimpulan
Sejarah kemerdekaan Saint Lucia adalah kisah ketahanan dan transformasi, dari penduduk asli Arawak dan Kalinago yang mempertahankan pulau mereka, hingga persaingan kolonial Inggris-Prancis yang membentuk identitas budaya unik. Perjuangan menuju kemerdekaan, yang dimulai dengan pemerintahan representatif pada 1924 dan memuncak pada 22 Februari 1979, mencerminkan tekad rakyat Saint Lucia untuk menentukan nasib sendiri. Dipimpin oleh tokoh seperti John Compton, Saint Lucia mengatasi tantangan pasca-kemerdekaan, termasuk ketidakstabilan ekonomi dan bencana alam, untuk membangun demokrasi yang dinamis dalam Persemakmuran. Hingga Mei 2025, Saint Lucia terus merayakan warisan budayanya melalui Hari Kemerdekaan dan memperkuat posisinya di panggung global melalui keterlibatan regional dan internasional. Dengan keindahan alam seperti Pitons dan kekayaan budaya seperti patois dan Quadrille, Saint Lucia adalah bukti bahwa negara kecil dapat memiliki dampak besar, menjadikan sejarah kemerdekaannya sebagai inspirasi bagi generasi mendatang.
Sumber:
-
Encyclopaedia Britannica, “Saint Lucia – Caribbean, Windward Islands, Independence,” 2025.
-
Saint Lucia Electoral Department, “History of Saint Lucia,” diakses 2025.
BACA JUGA: Detail Planet Mars: Karakteristik, Struktur, dan Misteri Terkecil di Tata Surya
BACA JUGA: Cerita Rakyat Tiongkok: Warisan Budaya, Makna, dan Pengaruhnya
BACA JUGA: Perbedaan Perkembangan Media Sosial Tahun 2020-2025: Analisis Lengkap Secara Mendalam