marylandleather.com, 30 MEI 2025
Penulis: Riyan Wicaksono
Editor: Muhammad Kadafi
Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88
Qatar, sebuah negara keamiran kecil di Semenanjung Arab, telah menorehkan sejarah panjang menuju kemerdekaannya pada 3 September 1971. Terletak di semenanjung yang membentang ke Teluk Persia, Qatar berbatasan dengan Arab Saudi di selatan dan dikelilingi oleh Teluk Persia, memisahkannya dari Bahrain. Dengan luas wilayah hanya 11.571 km², Qatar berhasil mentransformasi diri dari wilayah gurun yang bergantung pada perdagangan mutiara menjadi salah satu negara terkaya di dunia, didorong oleh cadangan minyak dan gas alam yang melimpah. Artikel ini mengulas secara mendalam sejarah kemerdekaan Qatar, mulai dari masa prasejarah, pengaruh kekuatan asing, perjuangan menuju kedaulatan, hingga perkembangan pasca-kemerdekaan, berdasarkan sumber seperti Wikipedia, Tirto.id, Merdeka.com, Harakah.id, dan Kompasiana.com.
1. Latar Belakang Sejarah Qatar 
1.1 Prasejarah dan Peradaban Awal
Sejarah Qatar dimulai sejak 50.000 tahun lalu, dengan bukti arkeologi berupa alat-alat batu dari 122 situs Paleolitik yang ditemukan pada ekspedisi Denmark tahun 1961. Situs seperti Al Da’asa di pesisir barat Qatar menunjukkan pemukiman musiman untuk berburu, memancing, dan mengumpulkan makanan, dengan penemuan 60 lubang api dan alat-alat batu seperti pisau dan mata panah. Pada periode Ubaid (6500–3800 SM), Mesopotamia memiliki pengaruh di wilayah ini, ditunjukkan oleh temuan keramik di pemukiman pesisir.
Pada milenium kedua SM, Qatar terlibat dalam perdagangan dengan peradaban Kassite di Bahrain, dengan bukti industri pewarna ungu dari kerang yang ditemukan di Pulau Al Khor. Pada 224 M, Kekaisaran Sasanid menguasai wilayah Teluk Persia, memperkenalkan komoditas mutiara dan pewarna ungu. Pada abad ke-7, Islam masuk ke Qatar setelah Nabi Muhammad mengirim utusan kepada Munzir ibn Sawa Al-Tamimi, gubernur Sasanid di Arab Timur, pada 628 M. Qatar kemudian menjadi bagian dari wilayah Beth Qatraye, mencakup Bahrain, Al-Khatt, dan Al-Hasa, dengan biara-biara Kristen yang menunjukkan keberagaman agama sebelum Islam mendominasi.
1.2 Era Abbasiyah hingga Dominasi Ottoman
Pada abad ke-8, Qatar menjadi pusat perdagangan mutiara selama era Abbasiyah, dengan pemukiman yang berkembang di pesisir. Pada abad ke-16, Qatar menjalin aliansi dengan Kesultanan Ottoman untuk mengusir Portugis, yang saat itu berusaha menguasai wilayah Teluk. Ottoman berhasil menguasai beberapa wilayah Arab Timur, termasuk Qatar, hingga awal abad ke-20. Pada 1766, migrasi keluarga dari Kuwait, terutama keluarga Al Khalifa, ke Al-Zubārah menandai awal sejarah modern Qatar. Al-Zubārah tumbuh sebagai pusat perdagangan mutiara dan pelabuhan kecil.
1.3 Munculnya Dinasti Al Thani
Dinasti Al Thani, yang menjadi penguasa Qatar hingga kini, mulai berkuasa pada awal abad ke-19. Syekh Jassim bin Mohammed Al Thani, dianggap sebagai pendiri Qatar, memimpin suku-suku Qatar dan memainkan peran kunci dalam memperjuangkan kedaulatan. Pada 1825, keluarga Al Thani mengkonsolidasikan kekuasaan di semenanjung, menggantikan pengaruh keluarga Al Khalifa yang menguasai Bahrain dan sebagian Qatar. Qatar saat itu masih bergantung pada ekonomi maritim, dengan perdagangan mutiara, penangkapan ikan, dan penggembalaan sebagai mata pencaharian utama.
2. Qatar di Bawah Pengaruh Kolonial
2.1 Dominasi Ottoman (1871–1915) 
Pada 1871, Kesultanan Ottoman memperluas kekuasaannya ke Qatar atas undangan putra penguasa saat itu, menduduki wilayah tersebut hingga 1913, ketika mereka menarik diri setelah merebut kembali Al-Hasa dari Saudi. Selama periode ini, Qatar tetap memiliki otonomi internal di bawah kepemimpinan keluarga Al Thani, meskipun Ottoman mengendalikan urusan luar negeri.
2.2 Protektorat Inggris (1916–1971) 
Pada 1867, konflik antara Al Khalifa dari Bahrain dan penduduk Qatar memuncak, dengan Doha nyaris hancur. Inggris, yang sebelumnya memandang Qatar sebagai dependensi Bahrain, mengubah pandangan mereka setelah Syekh Mohammed bin Thani menandatangani perjanjian pada 1868, mengakui Qatar sebagai entitas terpisah. Perjanjian ini menjadi langkah awal menuju kemerdekaan Qatar dan memperkuat posisi dinasti Al Thani.
Pada 1916, Syekh Abdullah bin Jassim Al Thani menandatangani perjanjian dengan Inggris, menjadikan Qatar protektorat Inggris. Perjanjian ini memberikan Inggris kendali atas kebijakan luar negeri Qatar, dengan imbalan perlindungan dari serangan laut dan darat. Pada 1934, perjanjian baru memperluas perlindungan Inggris, terutama setelah penemuan minyak berkualitas tinggi di Lapangan Dukhan pada 1940. Penemuan ini meningkatkan nilai strategis Qatar, meskipun eksploitasi minyak baru dimulai secara signifikan setelah Perang Dunia Kedua.
Selama periode protektorat, Inggris menggunakan Qatar sebagai transit kapal dagang menuju India, memperkuat pengaruh mereka di Teluk Persia. Namun, Qatar mempertahankan kedaulatan internal, dengan keluarga Al Thani memimpin urusan domestik berdasarkan hukum Islam dan tradisi lokal.
3. Perjuangan Menuju Kemerdekaan 
3.1 Dorongan Pasca-Perang Dunia Kedua
Setelah Perang Dunia Kedua, gelombang dekolonisasi melanda dunia, termasuk Timur Tengah. Kemerdekaan India pada 1947 dan Kuwait pada 1961 memicu semangat Qatar untuk mencapai kedaulatan penuh. Qatar mulai memperjuangkan kemerdekaan dengan lebih gencar, terutama setelah Inggris mengumumkan pada 1968 bahwa mereka akan menarik pasukan dari Teluk Persia pada 1971 sebagai bagian dari kebijakan pengurangan komitmen militer global.
Inggris awalnya berencana menghentikan penguasaan politik di Qatar tetapi tetap mempertahankan pengaruh ekonomi, terutama terkait minyak. Qatar menolak rencana ini dan, bersama Bahrain, membentuk Federasi Arab Teluk untuk memperkuat posisi mereka melawan dominasi Inggris. Pada saat yang sama, Qatar berpartisipasi dalam negosiasi untuk membentuk federasi dengan Bahrain, Uni Emirat Arab (UEA), dan tujuh emirat lainnya (yang kemudian menjadi UEA). Namun, perbedaan kepentingan politik dan visi membuat rencana federasi ini gagal.
3.2 Deklarasi Kemerdekaan
Pada pertengahan 1971, dengan mendekati batas waktu penarikan Inggris, Qatar memutuskan untuk merdeka secara mandiri. Pada 3 September 1971, Qatar secara resmi mengakhiri perjanjian protektorat dengan Inggris dan mendeklarasikan kemerdekaannya. Perjanjian sebelumnya dengan Inggris digantikan dengan perjanjian persahabatan, menandai transisi Qatar menjadi negara berdaulat. Pada bulan yang sama, Qatar bergabung dengan Liga Arab dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, memperkuat pengakuan internasional.
Mesir menjadi salah satu negara pertama yang mengakui kemerdekaan Qatar, diikuti oleh negara-negara Liga Arab seperti Suriah, Irak, dan Arab Saudi. Deklarasi kemerdekaan ini dipimpin oleh Syekh Khalifa bin Hamad Al Thani, yang menjadi Emir Qatar saat itu, melanjutkan kepemimpinan dinasti Al Thani.
4. Peran Dinasti Al Thani dalam Kemerdekaan 
Dinasti Al Thani memainkan peran sentral dalam sejarah Qatar, termasuk perjuangan kemerdekaan. Syekh Jassim bin Mohammed Al Thani, pendiri Qatar, meletakkan fondasi kedaulatan dengan menyatukan suku-suku Qatar di bawah satu bendera merah marun, yang mencerminkan warisan budaya dan industri pewarna ungu dari kerang murex di Pulau Bin Ghannam. Jassim dikenal sebagai pemimpin karismatik yang menjunjung nilai-nilai Islam, seperti keadilan dan kesejahteraan, yang tetap menjadi ciri pemerintahan Qatar.
Pada masa protektorat Inggris, Syekh Abdullah bin Jassim Al Thani memperkuat posisi Qatar dengan menandatangani perjanjian 1916, sementara Syekh Khalifa bin Hamad Al Thani memimpin Qatar menuju kemerdekaan pada 1971. Dinasti ini berhasil menjaga stabilitas internal meskipun berada di bawah tekanan kolonial dan konflik regional, seperti persaingan dengan Al Khalifa dari Bahrain.
5. Dampak Kemerdekaan
5.1 Transformasi Ekonomi
Kemerdekaan membuka peluang bagi Qatar untuk mengelola sumber daya minyak dan gas alamnya secara mandiri. Tak lama setelah merdeka, Qatar menemukan cadangan gas alam cair (LNG) terbesar ketiga di dunia di Lapangan Pars Selatan/Dome Utara, dengan total 900 triliun kaki kubik. Eksportasi LNG menjadikan Qatar negara terkaya dengan PDB per kapita tertinggi di dunia, melampaui AS dan Inggris. Penambangan minyak di Lapangan Dukhan, yang dimulai sebelum kemerdekaan, semakin diperluas, mengubah Qatar dari masyarakat nelayan dan penggembala menjadi ekonomi modern.
Pada 1981, Qatar bergabung dengan Dewan Kerjasama Teluk (GCC), aliansi regional untuk mempromosikan kerjasama ekonomi dan keamanan dengan negara-negara tetangga. Qatar juga menjadi eksportir utama minyak lepas pantai, dengan infrastruktur seperti pelantar di Teluk Persia.
6. Tantangan Pasca-Kemerdekaan
Meskipun sukses secara ekonomi, Qatar menghadapi tantangan seperti:
-
Korupsi Awal: Pada awal 1900-an, pendapatan minyak dialihkan secara ilegal oleh beberapa emir, menghambat pembangunan.
-
Konflik Regional: Krisis diplomatik 2017–2021 dengan Arab Saudi, UEA, Bahrain, dan Mesir, yang menuduh Qatar mendukung terorisme, mengisolasi Qatar secara ekonomi dan politik. Qatar membantah tuduhan ini, menekankan peran mereka dalam melawan terorisme bersama AS. Krisis ini berakhir pada Januari 2021 melalui mediasi Kuwait dan AS.
-
Isu HAM: Qatar menghadapi kritik internasional terkait hak pekerja migran, kebebasan berekspresi, dan hak perempuan, terutama menjelang Piala Dunia 2022.
7. Qatar di Era Modern 
Qatar telah menjadi kekuatan regional dan global, ditopang oleh Al Jazeera Media Network, yang memengaruhi opini publik selama Kebangkitan Arab. Qatar menjadi negara Arab pertama yang menyelenggarakan Piala Dunia FIFA 2022, menunjukkan kemampuan infrastruktur dan diplomasi. Tim nasional sepak bola Qatar juga mencatat sejarah dengan memenangkan Piala Asia AFC 2019 dan 2023.
Pada 2003, Qatar mengadopsi konstitusi baru yang disetujui 98% penduduk, menggambarkan sistem monarki konstitusional, meskipun beberapa menyebutnya monarki absolut. Emir saat ini, Syekh Tamim bin Hamad Al Thani, yang berkuasa sejak 2013, melanjutkan modernisasi Qatar sambil mempertahankan identitas Islam dan budaya Badwi.
8. Kesimpulan
Sejarah kemerdekaan Qatar pada 3 September 1971 adalah puncak dari perjuangan panjang melawan dominasi Ottoman dan Inggris, dipimpin oleh dinasti Al Thani. Dari wilayah gurun yang bergantung pada mutiara, Qatar bangkit menjadi negara terkaya di dunia berkat minyak dan gas alam. Kemerdekaan membuka jalan bagi transformasi ekonomi, sosial, dan politik, meskipun dihadapkan pada tantangan seperti konflik regional dan isu HAM. Dengan visi strategis dan peran global melalui Al Jazeera dan acara seperti Piala Dunia 2022, Qatar terus memperkuat posisinya sebagai kekuatan di Timur Tengah. Penelitian lebih lanjut tentang dampak kekayaan sumber daya terhadap dinamika sosial Qatar dapat memberikan wawasan tambahan tentang masa depan negara ini.
BACA JUGA: Panduan Lengkap Travelling ke Negara Palau: Petualangan di Surga Pasifik
BACA JUGA: Lingkungan, Sumber Daya Alam, dan Penduduk Negara Palau: Keberlanjutan di Kepulauan Pasifik
BACA JUGA: Seni dan Tradisi Negara Palau: Warisan Budaya Mikronesia yang Kaya