Sejarah Kemerdekaan Palau: Perjalanan Panjang Menuju Kedaulatan

Sejarah Kemerdekaan Palau: Perjalanan Panjang Menuju Kedaulatan

marylandleather.com, 19 MEI 2025
Penulis: Riyan Wicaksono
Editor: Muhammad Kadafi
Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88

Republik Palau, sebuah negara kepulauan kecil di Samudra Pasifik bagian barat, memiliki sejarah kemerdekaan yang kaya dan kompleks. Meskipun baru meraih kedaulatan penuh pada 1 Oktober 1994, perjalanan menuju kemerdekaan Palau melibatkan ribuan tahun sejarah budaya, pengaruh kolonial dari berbagai kekuatan dunia, dan perjuangan politik modern untuk menentukan nasib sendiri. Artikel ini akan menjelaskan secara mendalam proses kemerdekaan Palau, mulai dari asal-usul penduduknya, masa kolonial, hingga pembentukan negara merdeka yang berdaulat.

Asal-Usul dan Permukiman Awal Palau - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Palau, yang dikenal dalam bahasa lokal sebagai Belau, diperkirakan telah dihuni sejak sekitar 3.000 hingga 2.000 tahun sebelum Masehi. Penduduk awal Palau kemungkinan besar adalah migran dari wilayah Asia Tenggara Maritim, terutama dari Filipina atau Indonesia. Bukti arkeologi, seperti temuan di situs Badrulchau dan tanggal radiokarbon dari abad ke-1 dan ke-2 Masehi di Kayangel, menunjukkan adanya aktivitas manusia awal di kepulauan ini. Penduduk awal ini menghasilkan populasi yang beragam secara budaya, dengan pengaruh Melayu, Melanesia, dan Polinesia, serta beberapa elemen dari Filipina dan Indonesia.

Masyarakat Palau mengembangkan sistem sosial yang unik, yang ditandai dengan struktur matrilineal (nasab ibu), mirip dengan masyarakat Minangkabau di Indonesia. Dalam sistem ini, warisan seperti tanah, uang, dan gelar diturunkan melalui garis perempuan, dengan peran penting dimainkan oleh wanita dalam pengambilan keputusan sosial dan politik. Sistem desa yang terorganisir, yang masih terlihat hingga hari ini, mulai terbentuk sekitar abad ke-14 dan ke-15, menunjukkan transformasi sosial yang signifikan dalam masyarakat Palau.

Kontak Awal dengan Eropa

Palau pertama kali diketahui oleh dunia Eropa pada abad ke-16, meskipun kontak awal ini bersifat sporadis. Pada tahun 1522, misi Spanyol dari kapal Trinidad, bagian dari pelayaran keliling dunia Ferdinand Magellan, melaporkan melihat dua pulau kecil di sekitar lintang 5 derajat utara, yang mereka namakan “San Juan”. Pulau-pulau ini kemungkinan besar adalah bagian dari Kepulauan Sonsorol, yang merupakan bagian dari wilayah Palau modern. Namun, tidak ada kunjungan langsung yang dilakukan saat itu.

Kontak yang lebih signifikan terjadi pada 28 Desember 1696, ketika sekelompok orang Palau terdampar di pulau Samar, Filipina, setelah kapal mereka hanyut. Mereka diwawancarai oleh misionaris Ceko Paul Klein, yang berhasil menggambar peta Eropa pertama dari Palau berdasarkan deskripsi mereka. Peta ini, yang dibuat dengan susunan 87 kerikil di pantai, menjadi tonggak penting dalam pengenalan Palau ke dunia Barat. Klein mengirimkan laporan dan peta ini ke Jesuit Superior General pada Juni 1697, yang memicu minat Eropa terhadap kepulauan ini.

Pada abad ke-18, pedagang Inggris mulai mengunjungi Palau secara reguler. Salah satu peristiwa penting adalah kandasnya kapal Antelope milik British East India Company di Pulau Ulong pada tahun 1783. Kapten kapal, Henry Wilson, menjalin hubungan baik dengan penduduk setempat, dan peristiwa ini mengarah pada kunjungan Pangeran Lee Boo, seorang bangsawan Palau, ke London. Kunjungan ini menjadi simbol awal hubungan Palau dengan dunia luar.

Masa Kolonial: Spanyol, Jerman, dan Jepang Bougainville, Warisan Era Kolonial Jerman di Pasifik Selatan – DW – 14.12.2019

Palau secara resmi menjadi bagian dari Hindia Timur Spanyol pada tahun 1574, di bawah administrasi Filipina Spanyol. Pada tahun 1885, Jerman mulai menduduki beberapa pulau di Kepulauan Caroline, termasuk Palau, yang memicu sengketa dengan Spanyol. Sengketa ini diselesaikan oleh Paus Leo XIII, yang mengukuhkan klaim Spanyol atas pulau-pulau tersebut, dengan kompensasi untuk Inggris dan Jerman.

Namun, setelah kekalahan Spanyol dalam Perang Spanyol-Amerika pada tahun 1898, Spanyol menjual Palau dan sebagian besar Kepulauan Caroline kepada Jerman melalui Perjanjian Jerman-Spanyol tahun 1899. Di bawah kekuasaan Jerman, Palau menjadi bagian dari Nugini Jerman, dan Jerman memulai transformasi ekonomi dengan mengeksploitasi sumber daya alam seperti bauksit dan fosfat.

Pada Perang Dunia I, Jepang mengambil alih Palau dari Jerman pada tahun 1914 dan memerintahnya sebagai bagian dari Mandat Laut Selatan di bawah Liga Bangsa-Bangsa. Jepang melanjutkan eksploitasi sumber daya dan memperkenalkan reformasi tanah yang bertentangan dengan tradisi matrilineal Palau, mencoba mendistribusikan tanah kepada pemilik individu. Periode ini juga melihat peningkatan pengaruh budaya Jepang, yang masih terlihat dalam beberapa elemen budaya dan bahasa di Palau modern.

Perang Dunia II dan Pendudukan Amerika Pendekatan Sejarah untuk Konflik Papua - Historia

Perang Dunia II membawa dampak besar bagi Palau. Pada tahun 1944, Amerika Serikat merebut Palau dari Jepang setelah dua pertempuran besar: Pertempuran Peleliu dan Pertempuran Angaur. Pertempuran Peleliu, yang berlangsung dari September hingga November 1944, adalah salah satu pertempuran paling berdarah dalam kampanye Pasifik, dengan lebih dari 2.000 tentara Amerika dan 10.000 tentara Jepang tewas. Sisa-sisa perang, seperti bangkai kapal dan pesawat Jepang, masih menjadi daya tarik wisata sejarah di Palau hingga kini.

Setelah perang, pada tahun 1947, Palau menjadi bagian dari Wilayah Perwalian Kepulauan Pasifik di bawah administrasi Amerika Serikat, yang disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Resolusi Dewan Keamanan 21. Awalnya, Palau dikelola melalui Manila, Filipina, tetapi setelah Filipina merdeka pada tahun 1946, administrasi dipindahkan ke Guam. Selama periode ini, Amerika Serikat bertanggung jawab atas pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan di Palau, meskipun fokus utama mereka adalah kepentingan strategis di Pasifik.

Jalan Menuju Kemerdekaan Mengapa Banyak Terjadi Pemberontakan pada Awal Kemerdekaan Indonesia?

Pada tahun 1979, empat distrik Wilayah Perwalian Kepulauan Pasifik bergabung untuk membentuk Federasi Mikronesia, tetapi Palau dan Kepulauan Marshall menolak bergabung karena perbedaan budaya dan bahasa. Palau, sebagai gugusan paling barat dari Kepulauan Caroline, memilih untuk mengejar status merdeka. Pada tahun 1978, rakyat Palau mengesahkan konstitusi baru, yang menjadi dasar pembentukan Republik Palau. Haruo Ignacio Remeliik terpilih sebagai presiden pertama pada tahun 1981.

Proses menuju kemerdekaan penuh tidaklah mudah. Palau menandatangani Compact of Free Association dengan Amerika Serikat pada tahun 1982, yang memberikan Palau kedaulatan dalam urusan dalam negeri dan luar negeri, sementara Amerika Serikat bertanggung jawab atas pertahanan dan memberikan bantuan ekonomi. Namun, ratifikasi perjanjian ini memerlukan persetujuan 75% dalam referendum, sesuai dengan konstitusi anti-nuklir Palau yang melarang kehadiran senjata nuklir di wilayahnya. Konflik antara klausul anti-nuklir ini dan kepentingan militer Amerika Serikat menyebabkan delapan referendum yang gagal antara tahun 1983 dan 1993.

Periode transisi ini juga ditandai dengan ketidakstabilan politik. Presiden Haruo Remeliik dibunuh pada tahun 1985, dan penggantinya, Lazarus Salii, bunuh diri pada tahun 1988 di tengah tuduhan korupsi. Meskipun menghadapi tantangan ini, Palau terus memperjuangkan kemerdekaan. Pada tahun 1993, setelah amandemen konstitusi yang menurunkan ambang batas persetujuan referendum menjadi mayoritas sederhana, Compact of Free Association akhirnya diratifikasi. Pada 1 Oktober 1994, Palau secara resmi menjadi negara berdaulat, mengakhiri statusnya sebagai bagian dari Wilayah Perwalian Kepulauan Pasifik.

Kemerdekaan dan Compact of Free Association Perang Kemerdekaan Indonesia: Latar Belakang, Pertempuran, dan Akhir Halaman all - Kompas.com

Kemerdekaan Palau pada 1 Oktober 1994 menandai berakhirnya lebih dari empat abad pengaruh kolonial dan awal dari era baru sebagai negara berdaulat. Compact of Free Association dengan Amerika Serikat memungkinkan Palau untuk mempertahankan otonomi penuh dalam pemerintahan, sambil menerima bantuan ekonomi dan perlindungan militer dari Amerika Serikat. Sebagai imbalannya, Amerika Serikat mendapatkan akses strategis ke wilayah dan perairan Palau selama 50 tahun.

Pemerintahan Palau diatur oleh konstitusi yang mengadopsi sistem republik presidensial dengan tiga cabang pemerintahan: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Presiden, yang dipilih langsung untuk masa jabatan empat tahun, menjabat sebagai kepala negara dan pemerintahan. Cabang legislatif, yang disebut Olbiil Era Kelulau (Kongres Nasional Palau), terdiri dari Senat dan House of Delegates. Sistem peradilan dipimpin oleh Mahkamah Agung, yang memiliki divisi percobaan dan banding. Selain itu, Dewan Kepala, yang terdiri dari pemimpin tradisional, berperan sebagai penasihat presiden dalam hal hukum adat dan budaya.

Pasca-Kemerdekaan: Identitas dan Tantangan

Setelah merdeka, Palau fokus pada pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, terutama melalui pariwisata, perikanan, dan pertanian subsisten. Keindahan alam Palau, seperti Rock Island Southern Lagoon (Warisan Dunia UNESCO sejak 2012) dan Danau Ubur-Ubur di Pulau Eil Malk, telah menjadikan negara ini destinasi wisata global. Palau juga menjadi pelopor dalam konservasi lingkungan, dengan mendirikan Suaka Laut Nasional pertama di dunia pada tahun 2015, yang melarang penangkapan ikan komersial di wilayah seluas 500.000 km persegi.

Secara budaya, Palau mempertahankan identitasnya yang kaya, dengan bahasa Palauan (bahasa Austronesia Barat) dan Inggris sebagai bahasa resmi, serta bahasa regional seperti Sonsorolese, Tobian, dan Jepang. Tradisi matrilineal tetap kuat, meskipun ada pengaruh modern dari Jepang dan Barat yang mulai memengaruhi sistem warisan.

Namun, Palau juga menghadapi tantangan. Ketergantungan ekonomi pada bantuan Amerika Serikat, populasi kecil (sekitar 21.000 jiwa pada 2025), dan kerentanan terhadap perubahan iklim, seperti badai tropis, adalah isu yang terus dihadapi. Selain itu, Palau harus menyeimbangkan pembangunan pariwisata dengan pelestarian lingkungan dan budaya, seperti yang ditunjukkan melalui inisiatif seperti Palau Pledge (2017) dan Ol’au Palau, yang mendorong wisatawan untuk menghormati lingkungan dan budaya lokal.

Hubungan dengan Indonesia

Sebagai negara tetangga, Palau memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia sejak 2006, yang diperkuat dengan penandatanganan Joint Communique pada 12 Juli 2007. Hubungan ini mencakup kerja sama dalam hal batas maritim, perlindungan konsuler untuk nelayan, dan isu regional seperti Papua. Kedekatan geografis Palau dengan Indonesia—hanya 200 km dari Papua Barat, 255 km dari Maluku Utara, dan 500 km dari Sulawesi Utara—menjadikan hubungan ini strategis bagi kedua negara.

Kesimpulan

Sejarah kemerdekaan Palau adalah kisah ketahanan, adaptasi, dan tekad untuk menentukan nasib sendiri. Dari permukiman awal ribuan tahun lalu hingga pengaruh kolonial Spanyol, Jerman, Jepang, dan Amerika, Palau telah melalui perjalanan panjang untuk menjadi negara berdaulat pada 1 Oktober 1994. Compact of Free Association dengan Amerika Serikat memberikan landasan bagi kedaulatan Palau, sambil memungkinkan negara ini mempertahankan identitas budaya dan lingkungan yang unik. Meskipun menghadapi tantangan sebagai negara kecil, Palau terus menunjukkan komitmennya terhadap keberlanjutan dan pelestarian warisan budaya, menjadikannya contoh inspiratif di panggung global.

Sumber:

BACA JUGA: Dampak Positif dan Negatif Media Sosial di Era 2025: Peluang dan Tantangan dalam Kehidupan Digital

BACA JUGA: Tim Berners-Lee: Pencetus World Wide Web dan Karya Revolusioner yang Mengubah Dunia

BACA JUGA: Pengertian dan Perbedaan Paham Komunisme Menurut Marxisme: Analisis Mendalam