Sejarah Kemerdekaan Negara Guinea-Bissau: Perjuangan Panjang Menuju Kebebasan

Sejarah Kemerdekaan Negara Guinea-Bissau: Perjuangan Panjang Menuju Kebebasan

marylandleather.com, 09 MEI 2025

Penulis: Riyan Wicaksono

Editor: Muhammad Kadafi

Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88

 

 

Guinea-Bissau, secara resmi dikenal sebagai Republik Guinea-Bissau, adalah sebuah negara kecil di Afrika Barat yang meraih kemerdekaannya dari Portugal pada tahun 1974 setelah perjuangan bersenjata yang berlangsung selama lebih dari satu dekade. Sejarah kemerdekaan negara ini adalah kisah epik tentang ketahanan, strategi, dan semangat nasionalisme yang dipimpin oleh tokoh visioner seperti Amilcar Cabral dan Partai Afrika untuk Kemerdekaan Guinea dan Tanjung Verde (PAIGC). Artikel ini menyajikan secara detail, panjang, akurat, dan terpercaya sejarah kemerdekaan Guinea-Bissau, mencakup latar belakang kolonial, perjuangan bersenjata, deklarasi kemerdekaan, tantangan pasca-kemerdekaan, dan dampaknya hingga saat ini, berdasarkan sumber-sumber kredibel dan analisis mendalam.

1. Latar Belakang: Guinea-Bissau Sebelum Kolonialisme

  Perang Kemerdekaan Guinea Bissau (1963-1974): Mimpi Buruk Ala Vietnam Bagi  Portugis - Sejarah Militer    

Sebelum kedatangan bangsa Eropa, wilayah yang kini menjadi Guinea-Bissau merupakan bagian dari Kerajaan Kaabu, sebuah entitas politik yang berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Mali pada abad ke-13 hingga ke-18. Kerajaan Kaabu, yang berpusat di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Gabú, didirikan melalui penaklukan oleh jenderal Tiramakhan Traore di bawah pemerintahan Sundiata Keita. Kaabu dikenal sebagai federasi kerajaan yang kuat, dengan kelas prajurit elit Nyancho yang terkenal sebagai penunggang kuda dan perampok ulung. Ekonomi Kaabu banyak bergantung pada perdagangan budak, yang memperkaya kelas penguasa dengan kain impor, manik-manik, barang logam, dan senjata api.

Wilayah ini dihuni oleh berbagai kelompok etnis, termasuk Balanta, Jola, Papel, Manjak, dan Biafada, yang memiliki struktur sosial yang terdesentralisasi. Kemudian, pada abad ke-13 dan ke-15, kelompok Mandinka dan Fulani bermigrasi ke wilayah ini, mendorong penduduk asli seperti Balanta dan Jola ke pesisir dan Kepulauan Bijagos. Struktur sosial dan politik yang beragam ini menjadi penting dalam membentuk dinamika perlawanan terhadap kolonialisme di kemudian hari.

2. Kedatangan Eropa dan Kolonisasi Portugis

  Perang Kemerdekaan Guinea Bissau (1963-1974): Mimpi Buruk Ala Vietnam Bagi  Portugis - Sejarah Militer    

Bangsa Eropa pertama yang mencapai Guinea-Bissau adalah penjelajah Venesia Alvise Cadamosto pada tahun 1455, diikuti oleh pelaut Portugis Diogo Gomes (1456), Duarte Pacheco Pereira (1480-an), dan pedagang Flemish-Prancis Eustache de la Fosse (1479–1480). Pada abad ke-16, Portugal mulai menegakkan pengaruhnya di wilayah ini, mendirikan pos perdagangan di Cacheu dan Bissau. Wilayah ini menjadi bagian dari Guinea Portugis, yang juga dikenal sebagai “Pantai Budak” karena peran utamanya dalam perdagangan budak trans-Atlantik.

Namun, kendali Portugis atas Guinea-Bissau awalnya lemah. Hingga awal abad ke-20, Portugal hanya menguasai wilayah pesisir, sementara pedalaman tetap dikuasai oleh kerajaan-kerajaan lokal seperti Kaabu. Portugis mengandalkan lançados dan tangomãos—pedagang Eropa yang berasimilasi dengan budaya lokal—untuk memperluas pengaruh mereka, sering kali melanggar peraturan perdagangan resmi Portugal. Pada tahun 1915, perwira militer Portugis Teixeira Pinto, dengan bantuan tentara bayaran Wolof Abdul Injai, berhasil menaklukkan Kerajaan Bissau yang dikuasai suku Papel, menandai konsolidasi kekuasaan Portugis di daratan. Kepulauan Bijagos, yang terdiri dari pulau-pulau lepas pantai, baru sepenuhnya dikuasai pada tahun 1936.

Selama masa kolonial, Guinea-Bissau menghadapi eksploitasi ekonomi yang berat, dengan fokus pada ekspor budak, kacang tanah, dan hasil bumi lainnya. Infrastruktur sosial dan ekonomi diabaikan, dan penduduk lokal mengalami diskriminasi serta pajak yang memberatkan. Kondisi ini memicu ketidakpuasan yang menjadi cikal bakal perlawanan nasionalis di abad ke-20.

3. Kebangkitan Nasionalisme dan Pembentukan PAIGC

  Perang Kemerdekaan Guinea Bissau (1963-1974): Mimpi Buruk Ala Vietnam Bagi  Portugis - Sejarah Militer    

Pada pertengahan abad ke-20, gelombang nasionalisme anti-kolonial melanda Afrika, termasuk Guinea-Bissau. Pada tahun 1956, Amilcar Cabral, seorang agronomis dan intelektual keturunan Tanjung Verde, mendirikan Partai Afrika untuk Kemerdekaan Guinea dan Tanjung Verde (PAIGC) di Bissau. Cabral, yang lahir di Bafatá pada tahun 1924, memiliki visi untuk membebaskan Guinea-Bissau dan Tanjung Verde dari cengkeraman Portugis melalui perjuangan bersenjata dan mobilisasi rakyat. PAIGC awalnya berbasis di Conakry, ibu kota Guinea, di bawah dukungan Presiden Ahmed Sékou Touré, yang berbagi ideologi anti-kolonial dengan Cabral.

PAIGC tidak hanya berfokus pada perjuangan militer tetapi juga pada pembangunan sosial di wilayah yang dikuasainya. Cabral menekankan pentingnya pendidikan, layanan kesehatan, dan kesejahteraan rakyat untuk membangun dukungan massa. Strategi ini terbukti efektif, karena PAIGC berhasil mendapatkan kepercayaan dari berbagai kelompok etnis, termasuk Balanta, yang menjadi tulang punggung pasukan gerilya.

Pada Agustus 1961, PAIGC mengumumkan transisi dari aksi politik damai ke perjuangan bersenjata, menyusul represi brutal Portugis terhadap demonstrasi pekerja pelabuhan di Bissau pada tahun 1959 (dikenal sebagai Pembantaian Pijiguiti). Peristiwa ini menjadi katalis bagi perlawanan bersenjata, dengan PAIGC mulai melancarkan serangan gerilya pada tahun 1963.

4. Perang Kemerdekaan Guinea-Bissau (1963–1974)

Perang Kemerdekaan Guinea-Bissau, yang berlangsung dari 1963 hingga 1974, sering disebut sebagai “Vietnam-nya Portugal” karena intensitasnya dan dampaknya terhadap politik dalam negeri Portugal. Konflik ini melibatkan PAIGC melawan pemerintah kolonial Portugis, dengan dukungan signifikan dari negara-negara komunis seperti Kuba, Uni Soviet, dan Yugoslavia. Berikut adalah gambaran mendetail tentang perang ini:

4.1. Strategi PAIGC

PAIGC, di bawah kepemimpinan Amilcar Cabral, mengadopsi strategi perang gerilya yang sangat efektif. Mereka memanfaatkan medan rawa-rawa, hutan bakau, dan dataran rendah Guinea-Bissau untuk melancarkan serangan mendadak terhadap pos-pos Portugis. Pasukan PAIGC, yang sebagian besar terdiri dari petani lokal, dilatih di kamp-kamp di Guinea dan Uni Soviet. Sekitar 1.500 pejuang PAIGC menjalani pelatihan di Soviet selama perang, memperoleh keterampilan dalam penggunaan senapan mesin berat dan taktik gerilya.

PAIGC juga mendirikan “wilayah yang dibebaskan” di selatan dan tengah Guinea-Bissau, di mana mereka menghapus pajak kolonial dan utang kepada tuan tanah Portugis. Di wilayah ini, PAIGC membangun sekolah, klinik kesehatan, dan sistem administrasi lokal, memperkuat dukungan rakyat. Pada tahun 1965, PAIGC memperluas serangan ke wilayah timur dan utara, menguasai sebagian besar wilayah pedalaman.

4.2. Respons Portugis

Portugal, di bawah rezim Estado Novo yang dipimpin oleh António de Oliveira Salazar, mengerahkan ribuan tentara dan sumber daya besar untuk mempertahankan Guinea-Bissau. Namun, pasukan Portugis menghadapi kesulitan karena jumlah mereka yang terbatas dibandingkan dengan koloni lain seperti Angola dan Mozambik. Pada tahun 1964, sebuah insiden memalukan terjadi ketika Angkatan Udara Portugis secara tidak sengaja mengebom posisi mereka sendiri di Bissau, memicu kerusuhan internal di kalangan militer.

Portugal juga berusaha melemahkan PAIGC melalui operasi intelijen. Pada 20 Januari 1973, Amilcar Cabral dibunuh di Conakry oleh anggota PAIGC yang diduga direkrut oleh Portugis. Pembunuhan ini merupakan pukulan besar, tetapi tidak menghentikan perjuangan, karena saudara Cabral, Luís Cabral, dan pemimpin lain seperti Aristides Pereira melanjutkan kepemimpinan.

4.3. Dukungan Internasional

PAIGC menerima dukungan luas dari komunitas internasional. Selain bantuan militer dari Kuba dan Uni Soviet, negara-negara seperti Tiongkok, Aljazair, dan Ghana juga memberikan bantuan logistik dan politik. Presiden Guinea, Ahmed Sékou Touré, memainkan peran penting dengan menyediakan markas bagi PAIGC di Conakry dan memfasilitasi hubungan dengan sekutu internasional. Dukungan ini memungkinkan PAIGC untuk mempertahankan tekanan militer terhadap Portugis.

4.4. Puncak Perang dan Deklarasi Kemerdekaan

Pada tahun 1973, PAIGC telah menguasai sekitar dua pertiga wilayah Guinea-Bissau, termasuk wilayah pedalaman yang strategis. Pada 24 September 1973, PAIGC secara sepihak mendeklarasikan kemerdekaan Republik Guinea-Bissau di Madina do Boé, sebuah kota di wilayah timur. Deklarasi ini diakui oleh beberapa negara, termasuk anggota Blok Timur dan negara-negara Afrika yang mendukung perjuangan anti-kolonial. Nama “Bissau” ditambahkan ke nama negara untuk membedakannya dari tetangganya, Guinea (dulunya Guinea Perancis).

Meskipun deklarasi ini merupakan langkah simbolis, Portugal belum mengakui kemerdekaan Guinea-Bissau. Perang berlanjut hingga terjadi perubahan politik besar di Portugal.

5. Revolusi Bunga dan Pengakuan Kemerdekaan

Pada 25 April 1974, Revolusi Bunga (Revolução dos Cravos) di Portugal menggulingkan rezim Estado Novo, yang telah memerintah sejak 1933. Revolusi ini dipicu oleh kelelahan militer dan masyarakat Portugis akibat perang kolonial yang berkepanjangan di Guinea-Bissau, Angola, dan Mozambik. Pemerintahan baru Portugal, yang dipimpin oleh faksi militer progresif, memulai negosiasi dengan gerakan kemerdekaan di koloni-koloni mereka.

Pada 10 September 1974, Portugal secara resmi mengakui kemerdekaan Guinea-Bissau melalui Perjanjian Alvor. Luís Cabral menjadi presiden pertama Guinea-Bissau, dan PAIGC membentuk pemerintahan satu partai. Kemerdekaan ini juga diikuti oleh pengakuan internasional yang luas, dengan Guinea-Bissau diterima sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 17 September 1974.

6. Tantangan Pasca-Kemerdekaan

Meskipun kemerdekaan adalah kemenangan besar, Guinea-Bissau menghadapi berbagai tantangan pasca-kemerdekaan:

6.1. Ketidakstabilan Politik

Guinea-Bissau memiliki sejarah ketidakstabilan politik yang signifikan. Sejak kemerdekaan, tidak ada presiden terpilih yang berhasil menyelesaikan masa jabatan lima tahun penuh hingga José Mário Vaz menyelesaikan masa jabatannya pada 2019. Kudeta militer dan konflik politik menjadi ciri khas, dengan contoh nyata seperti kudeta pada 12 April 2012, ketika militer menangkap presiden sementara dan calon presiden terdepan.

Ketegangan antara Guinea-Bissau dan Tanjung Verde juga muncul. Meskipun PAIGC awalnya bertujuan untuk menyatukan kedua negara, rencana ini gagal setelah kudeta militer pada 1980 menggulingkan Luís Cabral, memisahkan hubungan antara kedua wilayah.

6.2. Ekonomi dan Kemiskinan

Guinea-Bissau adalah salah satu negara termiskin di dunia, dengan pendapatan per kapita yang rendah. Ekonomi sangat bergantung pada pertanian subsisten, ekspor kacang mete, dan bantuan asing. Perang saudara pada 1998–1999 dan kudeta 2003 menghancurkan infrastruktur ekonomi, memperburuk kemiskinan yang sudah meluas. Meskipun adanya pakta stabilitas pada 1997 yang memperkenalkan sistem moneter franc CFA, kemajuan ekonomi tetap terhambat oleh korupsi dan ketidakstabilan.

6.3. Warisan Sosial dan Budaya

Guinea-Bissau adalah negara multietnis dengan lebih dari 20 kelompok etnis, termasuk Fulani (28,5%), Balanta (22,5%), dan Mandinga (14,7%). Bahasa resmi adalah Portugis, tetapi hanya 2% penduduk yang menggunakannya sebagai bahasa pertama, dengan Kreol Guinea-Bissau sebagai bahasa nasional yang menyatukan berbagai kelompok. Sekitar 45% penduduk beragama Islam, 22% Kristen, dan sisanya menganut animisme atau kepercayaan tradisional. Sinkretisme agama, yang menggabungkan Islam dan Kristen dengan tradisi Afrika, adalah ciri khas budaya lokal.

7. Dampak dan Warisan Kemerdekaan

Kemerdekaan Guinea-Bissau memiliki dampak signifikan baik di tingkat nasional maupun internasional:

7.1. Inspirasi Anti-Kolonial

Perjuangan Guinea-Bissau, terutama di bawah kepemimpinan Amilcar Cabral, menjadi inspirasi bagi gerakan kemerdekaan di seluruh Afrika. Cabral tidak hanya dikenal sebagai pejuang militer tetapi juga sebagai intelektual yang menulis tentang teori dekolonisasi dan nasionalisme Afrika. Karyanya, seperti Weapon of Theory, tetap relevan dalam studi postkolonial.

7.2. Hubungan Internasional

Guinea-Bissau menjalankan kebijakan luar negeri nonblok, menjalin hubungan dengan berbagai negara, termasuk Indonesia, yang menandatangani kerja sama pertahanan pada 2017. Negara ini adalah anggota Uni Afrika, Komunitas Ekonomi Negara Afrika Barat (ECOWAS), Organisasi Kerjasama Islam, dan Komunitas Negara Berbahasa Portugis, mencerminkan posisinya dalam komunitas global.

7.3. Simbolisme Bendera

Bendera Guinea-Bissau, dengan warna merah, kuning, dan hijau serta bintang hitam, mencerminkan perjuangan kemerdekaan. Warna merah melambangkan darah para martir, kuning mewakili sabana utara, hijau melambangkan hutan selatan, dan bintang hitam melambangkan rakyat Afrika.

8. Tantangan Kontemporer

Hingga 2025, Guinea-Bissau masih menghadapi tantangan seperti korupsi, kemiskinan, dan ketidakstabilan politik. Presiden saat ini, Umaro Sissoco Embaló, yang terpilih pada 2019, berupaya menstabilkan negara, tetapi tantangan struktural tetap ada. Angkatan bersenjata, dengan sekitar 4.400 personel, memainkan peran penting dalam politik, sering kali menjadi sumber ketegangan.

Ekonomi Guinea-Bissau bergantung pada kacang mete, yang menyumbang sebagian besar ekspor, tetapi kerentanan terhadap fluktuasi harga global dan perubahan iklim mengancam stabilitas. Upaya reformasi, seperti yang didukung oleh IMF, menunjukkan kemajuan, tetapi kemiskinan yang meluas dan harapan hidup yang rendah (58 tahun pada 2021) tetap menjadi isu mendesak.

9. Kesimpulan

Sejarah kemerdekaan Guinea-Bissau adalah kisah tentang perjuangan heroik melawan kolonialisme, dipimpin oleh Amilcar Cabral dan PAIGC. Dari kerajaan Kaabu hingga perang gerilya melawan Portugis, perjalanan menuju kemerdekaan pada 1974 menunjukkan ketahanan dan semangat rakyat Guinea-Bissau. Meskipun menghadapi tantangan pasca-kemerdekaan seperti ketidakstabilan politik dan kemiskinan, warisan perjuangan ini tetap menjadi sumber inspirasi. Dengan luas 36.125 km² dan populasi sekitar 2 juta jiwa, Guinea-Bissau terus berupaya membangun masa depan yang lebih stabil dan sejahtera, sambil mempertahankan identitas budaya dan semangat nasionalismenya yang kaya.

BACA JUGA: Kehidupan Seperti Catur: Ketidak pastian Langkah demi Langkah Walaupun Meski Manusia Penuh Dengan Skenario

BACA JUGA: Masalah Sosial di Indonesia pada Tahun 1900-an: Dampak Kolonialisme dan Kebangkitan Kesadaran Sosial

BACA JUGA: Perkembangan Teknologi Militer Portugal: Dari Era Penjelajahan hingga Abad Modern