Sejarah Kemerdekaan Negara Bhutan

Sejarah Kemerdekaan Negara Bhutan

marylandleather.com, 31 MEI 2025

Penulis: Riyan Wicaksono

Editor: Muhammad Kadafi

Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88 53 FAKTA MENARIK TENTANG BHUTAN | semestafakta

Bhutan, sebuah kerajaan kecil di Himalaya yang dikenal sebagai Druk Yul atauTanah Naga Guntur,” memiliki sejarah kemerdekaan yang unik karena tidak pernah dijajah secara langsung oleh kekuatan asing. Berbeda dengan banyak negara di Asia Selatan yang mengalami penjajahan kolonial, Bhutan mempertahankan kedaulatannya selama berabad-abad melalui kombinasi isolasi geografis, kebijakan politik yang cerdas, dan hubungan strategis dengan kekuatan regional seperti Inggris dan India. Artikel ini mengulas secara mendetail sejarah kemerdekaan Bhutan, dari asal-usulnya sebagai wilayah otonom hingga pengakuan formal kedaulatannya pada abad ke-20, berdasarkan sumber-sumber terpercaya seperti Encyclopaedia Britannica, Wikipedia, dan laporan resmi pemerintah Bhutan.

Latar Belakang Awal: Isolasi dan Identitas Berbasis Buddha AI Art - Buddha - Etsy

Sejarah awal Bhutan diselimuti misteri karena kurangnya catatan tertulis yang terpelihara, sebagian besar hancur akibat kebakaran di ibu kota kuno Punakha pada tahun 1827. Bukti arkeologi menunjukkan bahwa Bhutan telah dihuni sejak sekitar 2000 SM, dengan alat-alat batu dan struktur megalitik sebagai saksi bisu. Hingga abad ke-9 M, Bhutan tidak memiliki pemerintahan terpusat; wilayahnya terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil yang dipimpin oleh kepala suku atau pangeran lokal. Identitas nasional Bhutan mulai terbentuk dengan masuknya agama Buddha melalui Guru Padmasambhava (Guru Rinpoche) pada abad ke-8. Menurut tradisi, Guru Rinpoche tiba di Bhutan pada tahun 747 M, mendirikan biara-biara seperti Paro Taktsang dan menyebarkan ajaran Buddha Nyingmapa, yang menjadi dasar identitas budaya dan agama Bhutan.

Pada abad ke-12, sekte Drukpa Kagyupa, cabang dari Buddha Tibet, menjadi agama dominan di Bhutan, dipelopori oleh Lama Phajo Drukgom Shigpo (1184–1251). Periode ini ditandai dengan pengaruh budaya Tibet yang kuat, meskipun Bhutan tetap mempertahankan otonomi politiknya dari Tibet. Hingga awal abad ke-17, Bhutan masih merupakan kumpulan wilayah otonom yang sering bersaing, tanpa pemerintahan terpusat.

Penyatuan Bhutan: Era Shabdrung Ngawang Namgyal Zhabdrung Ngawang Namgyal: The first Unifier of Bhutan | Blog Details

Penyatuan Bhutan dimulai pada tahun 1616 dengan kedatangan Shabdrung Ngawang Namgyal, seorang lama Drukpa dari Tibet yang melarikan diri dari konflik dengan sekte Gelugpa di Lhasa. Ngawang Namgyal adalah tokoh kunci dalam sejarah Bhutan, dianggap sebagai pendiri negara modern. Ia berhasil mengalahkan tiga invasi Tibet, menundukkan sekte-sekte agama saingan, dan menyatukan wilayah-wilayah Bhutan di bawah satu pemerintahan teokratis yang disebut Drukyul. Ia mendirikan sistem pemerintahan ganda, dengan Dharma Raja (Shabdrung) sebagai pemimpin spiritual dan Deb Raja (Druk Desi) sebagai pemimpin temporal, serta membangun jaringan benteng (dzong) untuk memperkuat kontrol sentral dan pertahanan terhadap ancaman Tibet. Ngawang Namgyal juga menyusun kode hukum (Tsa Yig), yang mengatur kehidupan sosial dan agama, memperkuat identitas nasional Bhutan.

Setelah kematian Ngawang Namgyal pada tahun 1651, kematiannya dirahasiakan selama 50 tahun untuk menjaga stabilitas politik sambil mencari reinkarnasinya, sebuah praktik yang menyebabkan kelemahan sistemik karena penerusnya sering kali masih anak-anak, sehingga kekuasaan beralih ke Druk Desi dan gubernur regional (penlop). Pada abad ke-18 dan ke-19, Bhutan mengalami konflik internal antara penlop, melemahkan pemerintahan pusat, tetapi identitas nasionalnya tetap terjaga berkat agama Buddha dan sistem dzong.

Hubungan dengan Kekuatan Kolonial: Duar Wars dan Traktat Sinchula

Pada abad ke-18, Bhutan mulai berinteraksi dengan kekuatan kolonial Inggris, terutama melalui konflik di wilayah Duars, dataran rendah di perbatasan selatan yang strategis untuk perdagangan. Bhutan telah menguasai sebagian Assam Duars sejak tahun 1760-an, tetapi setelah Inggris menguasai Assam pada tahun 1826, ketegangan meningkat karena Bhutan sering menyerang wilayah tersebut. Pada tahun 1773, Inggris mengirim ekspedisi di bawah Robert Lindsay untuk menegosiasikan perdamaian, diikuti oleh misi lain pada tahun 1815 dan 1838, namun Bhutan menolak tawaran Inggris untuk menjaga kedaulatannya.

Ketegangan memuncak dalam Perang Duar (1864–1865), sebuah konflik militer antara Inggris dan Bhutan. Bhutan kalah karena kurangnya persenjataan modern, dan pada tahun 1865, kedua pihak menandatangani Traktat Sinchula. Traktat ini mewajibkan Bhutan menyerahkan 18 Duars kepada Inggris dengan imbalan subsidi tahunan sebesar 50.000 rupee. Meskipun kehilangan wilayah, traktat ini menegaskan status Bhutan sebagai negara berdaulat, karena Inggris tidak mencaplok Bhutan atau menempatkan garnisun permanen di wilayahnya. Traktat Sinchula menjadi langkah awal dalam pengakuan kedaulatan Bhutan oleh kekuatan asing.

Penyatuan Monarki: Kebangkitan Wangchuck dan Traktat Punakha

Pada akhir abad ke-19, Bhutan mengalami perang sipil antara penlop regional, terutama antara Penlop Trongsa dan Penlop Paro. Jigme Namgyal, Penlop Trongsa, muncul sebagai pemimpin kuat, dan putranya, Ugyen Wangchuck, menyelesaikan penyatuan Bhutan. Pada tahun 1885, Ugyen Wangchuck mengkonsolidasikan kekuasaan dan membangun hubungan dekat dengan Inggris, termasuk mendampingi Ekspedisi Younghusband ke Lhasa pada tahun 1904, yang membuatnya dianugerahi gelar Knight Commander of the Indian Empire oleh Inggris.

Pada 17 Desember 1907, Ugyen Wangchuck secara aklamasi dipilih sebagai raja turun-temurun pertama Bhutan (Druk Gyalpo) oleh majelis biksu Buddha, pejabat pemerintah, dan kepala keluarga terkemuka, menandai akhir dari sistem pemerintahan ganda. Penobatannya dihadiri oleh pejabat Inggris John Claude White, dan Inggris segera mengakui monarki baru ini. Pada 8 Januari 1910, Bhutan menandatangani Traktat Punakha dengan Inggris, yang menegaskan bahwa Inggris tidak akan mencampuri urusan dalam negeri Bhutan dengan imbalan Bhutan menerima panduan Inggris dalam hubungan luar negerinya. Traktat ini juga meningkatkan subsidi tahunan menjadi 100.000 rupee dan menegaskan kedaulatan Bhutan, meskipun dengan pengaruh Inggris dalam politik luar.

Kemerdekaan Modern: Traktat Persahabatan dengan India (1949)

Ketika India merdeka dari Inggris pada 15 Agustus 1947, Bhutan menjadi salah satu negara pertama yang mengakui kemerdekaan India. Pada 8 Agustus 1949, Bhutan menandatangani Traktat Persahabatan antara Pemerintah India dan Pemerintah Bhutan, yang menggantikan Traktat Punakha. Traktat ini menetapkan bahwa India tidak akan mencampuri urusan dalam negeri Bhutan, tetapi Bhutan akan menerima panduan India dalam hubungan luar negerinya. India juga meningkatkan subsidi tahunan menjadi 500.000 rupee dan mengembalikan wilayah Dewangiri di Duars kepada Bhutan, sebuah langkah simbolis yang memperkuat kebanggaan nasional Bhutan.

Pada tahun 1950, aneksasi Tibet oleh Republik Rakyat Tiongkok meningkatkan kekhawatiran Bhutan akan ancaman Tiongkok, terutama karena klaim Tiongkok atas beberapa wilayah Bhutan. Untuk mengatasi ancaman ini, Bhutan memperkuat hubungan dengan India, termasuk membangun jaringan jalan dan memperkuat perbatasan utara. Pada tahun 1960, Raja Jigme Dorji Wangchuck menegaskan kedaulatan Bhutan dengan meminta India mengakui perbatasan Bhutan-India sebagai perbatasan internasional. Selama Perang Sino-India 1962, Bhutan memprotes pelanggaran perbatasan oleh tentara India, menunjukkan sikap independennya meskipun aliansi erat dengan India.

Traktat 1949 diperbarui pada tahun 2007 untuk mencerminkan hubungan yang lebih setara antara Bhutan dan India. Perjanjian baru ini menghapus kewajiban Bhutan untuk menerima panduan India dalam hubungan luar negeri, menegaskan kedaulatan penuh Bhutan, sambil menekankan kerja sama erat dalam isu-isu keamanan nasional. Perjanjian ini menyatakan bahwa kedua negara akan menghormati “kedaulatan dan integritas teritorial” masing-masing, menandai pengakuan formal atas kemerdekaan penuh Bhutan.

Langkah Menuju Modernisasi dan Demokrasi

Di bawah kepemimpinan Raja Jigme Dorji Wangchuck (1952–1972), Bhutan memulai modernisasi sambil mempertahankan kedaulatannya. Pada tahun 1953, ia mendirikan Majelis Nasional (Tshogdu), dan pada tahun 1965, ia membentuk Dewan Penasihat Kerajaan. Bhutan bergabung dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1971, menegaskan statusnya sebagai negara berdaulat di panggung internasional. Bhutan juga menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Bangladesh pada 6 Desember 1971, menunjukkan peran aktifnya dalam diplomasi regional.

Raja Jigme Singye Wangchuck (1972–2006) melanjutkan modernisasi dengan memperkenalkan konsep Gross National Happiness (GNH), sebuah filosofi pembangunan yang mengutamakan kesejahteraan holistik di atas pertumbuhan ekonomi semata. Pada tahun 2008, Bhutan beralih dari monarki absolut ke monarki konstitusional, dengan pemilihan umum pertama untuk Majelis Nasional, sebuah langkah yang dipelopori oleh Raja Jigme Singye Wangchuck sebelum ia turun takhta demi putranya, Jigme Khesar Namgyel Wangchuck. Transisi ini memperkuat legitimasi Bhutan sebagai negara berdaulat modern tanpa mengorbankan identitas budayanya.

Tantangan dan Kontroversi

Meskipun Bhutan tidak pernah dijajah, kemerdekaannya sempat diuji oleh tekanan eksternal dan internal. Pada tahun 1988–1990, kebijakan “satu bangsa, satu rakyat” dan kode budaya Driglam Namzhag memicu ketegangan dengan komunitas Lhotsampa (etnis Nepal) di Bhutan selatan, yang dianggap sebagai imigran ilegal oleh pemerintah. Akibatnya, ribuan Lhotsampa meninggalkan Bhutan ke Nepal, menyebabkan krisis pengungsi dan kritik internasional. Meskipun isu ini memengaruhi reputasi Bhutan, pemerintah tetap mempertahankan kedaulatannya dalam menangani urusan dalam negeri.

Hubungan dengan Tiongkok tetap menjadi tantangan karena sengketa perbatasan di wilayah utara, meskipun Bhutan telah menunjukkan sikap independen dengan menolak tawaran negosiasi langsung dari Tiongkok pada tahun 1960-an tanpa konsultasi dengan India.

Warisan Kemerdekaan Bhutan

Kemerdekaan Bhutan adalah hasil dari kombinasi isolasi geografis, identitas budaya yang kuat berbasis Buddha, dan diplomasi strategis. Berbeda dengan negara-negara tetangga seperti Sikkim, yang dianeksasi oleh India pada tahun 1975, Bhutan berhasil mempertahankan kedaulatannya melalui aliansi dengan Inggris dan kemudian India, tanpa kehilangan kendali atas urusan dalam negerinya. Traktat-traktat seperti Sinchula (1865), Punakha (1910), dan Persahabatan dengan India (1949, direvisi 2007) menjadi tonggak penting dalam pengakuan internasional atas kedaulatan Bhutan.

Saat ini, Bhutan diakui sebagai salah satu negara paling damai di Asia Selatan, menduduki peringkat pertama dalam kebebasan ekonomi dan kemudahan berbisnis di kawasan ini pada tahun 2016. Filosofi Gross National Happiness dan transisi ke demokrasi pada tahun 2008 menunjukkan bahwa Bhutan mampu memodernisasi sambil mempertahankan identitas dan kedaulatannya. Dengan keanggotaan di PBB, SAARC, dan lebih dari 150 organisasi internasional, Bhutan telah menegaskan posisinya sebagai negara berdaulat yang aktif di panggung dunia, sambil tetap setia pada warisan budaya dan agamanya.

Penutup

Sejarah kemerdekaan Bhutan adalah kisah ketahanan sebuah kerajaan kecil di Himalaya yang mampu mempertahankan kedaulatannya di tengah tekanan regional dan global. Dari penyatuan di bawah Shabdrung Ngawang Namgyal pada abad ke-17 hingga pengakuan formal kedaulatan melalui traktat dengan Inggris dan India, Bhutan telah menunjukkan kemampuan untuk menyeimbangkan isolasi dan keterlibatan internasional. Dengan transisi ke monarki konstitusional dan filosofi Gross National Happiness, Bhutan tidak hanya mempertahankan kemerdekaannya, tetapi juga menjadi model unik pembangunan yang mengutamakan kesejahteraan rakyatnya. Sejarah ini menegaskan bahwa kemerdekaan Bhutan bukan hanya soal kedaulatan politik, tetapi juga pelestarian identitas budaya dan spiritual yang telah bertahan selama berabad-abad.

BACA JUGA: Panduan Lengkap Travelling ke Negara Palau: Petualangan di Surga Pasifik

BACA JUGA: Lingkungan, Sumber Daya Alam, dan Penduduk Negara Palau: Keberlanjutan di Kepulauan Pasifik

BACA JUGA: Seni dan Tradisi Negara Palau: Warisan Budaya Mikronesia yang Kaya