Sejarah Kemerdekaan Negara Armenia

Sejarah Kemerdekaan Negara Armenia

marylandleather.com, 01 MEI 2025

Penulis: Riyan Wicaksono

Editor: Muhammad Kadafi

Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88 Nestapa Negara Kristen Pertama di Dunia, Armenia

Armenia, sebuah negara kecil yang terletak di wilayah Kaukasus Selatan, memiliki sejarah yang kaya dan penuh warna. Dengan luas wilayah hanya sekitar 29.743 km², Armenia telah menjadi saksi berbagai peradaban dan kekuasaan besar sepanjang sejarahnya. Dikenal sebagai salah satu peradaban tertua di dunia, Armenia memiliki identitas budaya yang kuat, terutama karena menjadi negara pertama yang mengadopsi agama Kristen sebagai agama resmi pada tahun 301 M. Sejarah kemerdekaan Armenia adalah kisah perjuangan panjang melawan berbagai penjajahan, mulai dari Kekaisaran Romawi, Persia, hingga Uni Soviet, dengan puncaknya pada kemerdekaan modern pada tahun 1991. Artikel ini akan membahas secara mendalam perjalanan sejarah kemerdekaan Armenia, mulai dari zaman kuno hingga era modern, dengan fokus pada perjuangan, tantangan, dan pencapaian bangsa Armenia.

Latar Belakang Sejarah Armenia

Armenia, yang dalam bahasa aslinya disebut Hayastan (tanah orang-orang Haik), memiliki akar sejarah yang sangat tua. Menurut legenda, orang-orang Armenia adalah keturunan Haik, yang dianggap sebagai keturunan Nabi Nuh. Wilayah Armenia telah dihuni sejak zaman prasejarah, dengan bukti arkeologi menunjukkan keberadaan manusia sejak Zaman Perunggu. Secara geografis, Armenia terletak di persimpangan antara Eropa dan Asia, menjadikannya wilayah strategis yang sering menjadi rebutan berbagai kekuatan besar.

Pada masa kuno, Armenia mencapai puncak kejayaannya di bawah Kerajaan Armenia, terutama pada masa pemerintahan Tigranes II yang Agung (95–55 SM). Pada masa ini, wilayah Armenia membentang luas dari Laut Kaspia hingga Laut Mediterania. Namun, posisi strategis Armenia juga membuatnya rentan terhadap invasi dan penjajahan. Berbagai kekaisaran, seperti Romawi, Parthia, Bizantium, Arab, Mongol, Persia Safawiyah, dan Turki Utsmaniyah, silih berganti menguasai wilayah ini. Meskipun sering berada di bawah kekuasaan asing, identitas budaya dan agama Armenia tetap terjaga, terutama melalui Gereja Apostolik Armenia yang menjadi pilar spiritual dan budaya.

Penjajahan dan Perjuangan Awal Senat Prancis loloskan UU Genosida Armenia - BBC News Indonesia

Sejak abad ke-16, wilayah Armenia terpecah antara dua kekuatan besar: Kekaisaran Utsmaniyah di barat dan Kekaisaran Safawiyah Persia di timur. Pada abad ke-19, Armenia Timur (yang kini menjadi wilayah Republik Armenia modern) dianeksasi oleh Kekaisaran Rusia setelah Perang Rusia-Persia (1804–1813 dan 1826–1828) melalui Perjanjian Gulistan (1813) dan Turkmenchay (1828). Sementara itu, Armenia Barat tetap berada di bawah kendali Utsmaniyah.

Di bawah kekuasaan Utsmaniyah, warga Armenia hidup sebagai warga kelas dua dalam sistem millet, yang memberikan hak terbatas kepada komunitas non-Muslim. Namun, pada akhir abad ke-19, nasionalisme Armenia mulai bangkit, dipicu oleh diskriminasi dan kekerasan. Pembantaian massal terhadap warga Armenia terjadi pada tahun 1894–1896 di bawah Sultan Abdul Hamid II, menewaskan sekitar 200.000–300.000 orang. Situasi memburuk selama Perang Dunia I, ketika Kekaisaran Utsmaniyah melancarkan genosida Armenia (1915–1923), yang menyebabkan kematian sekitar 1,5 juta warga Armenia dan pengusiran massal dari tanah leluhur mereka. Genosida ini menjadi salah satu tragedi terbesar dalam sejarah Armenia, menghancurkan peradaban Armenia di Anatolia timur.

Republik Armenia Pertama (1918–1920) Armenia, Republic - pre-USSR (1918 - 1920) - Dead Country Stamps and  BanknotesDead Country Stamps and Banknotes

Peluang untuk kemerdekaan muncul setelah Revolusi Bolshevik pada Oktober 1917, yang meruntuhkan Kekaisaran Rusia. Pada 28 Mei 1918, Armenia mendeklarasikan kemerdekaan sebagai Republik Armenia Pertama, setelah kemenangan dalam Pertempuran Sardarapat, Bash Aparan, dan Gharakilisa melawan pasukan Utsmaniyah. Kemenangan ini dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Aram Manukian, yang menjadi simbol perlawanan Armenia. Republik ini, bagaimanapun, hanya bertahan singkat.

Republik Armenia Pertama menghadapi berbagai tantangan, termasuk kelaparan, pengungsian massal akibat genosida, dan konflik dengan negara tetangga, terutama Turki dan Azerbaijan. Pada 1920, Armenia diserbu oleh pasukan Turki dan Bolshevik. Pada 29 November 1920, Bolshevik mendirikan Republik Sosialis Soviet (RSS) Armenia, dan pada 1922, Armenia menjadi bagian dari Republik Sosialis Federasi Soviet Transkaukasia bersama Georgia dan Azerbaijan. Kemerdekaan yang baru diraih pun sirna, dan Armenia berada di bawah kendali Uni Soviet selama hampir tujuh dekade.

Era Soviet dan Kebangkitan Nasionalisme The Karabakh War of 1918-1920

Selama era Soviet, Armenia mengalami modernisasi di bidang pendidikan, industri, dan infrastruktur, tetapi kehilangan otonomi politik. Ekonomi Armenia bergantung pada industri seperti bahan kimia, elektronik, dan tekstil, dengan Yerevan sebagai pusat ekonomi dan budaya. Namun, identitas nasional Armenia tetap kuat, didukung oleh Gereja Apostolik Armenia dan diaspora Armenia di seluruh dunia.

Pada akhir 1980-an, kebijakan glasnost dan perestroika di bawah Mikhail Gorbachev membuka ruang bagi kebangkitan nasionalisme. Salah satu isu utama adalah Nagorno-Karabakh, sebuah wilayah otonom di Azerbaijan yang mayoritas penduduknya adalah etnis Armenia. Pada 1988, warga Nagorno-Karabakh menuntut bergabung dengan Armenia, memicu ketegangan dengan Azerbaijan. Demonstrasi besar-besaran di Yerevan mendukung reunifikasi, dan bendera triwarna Armenia (merah, biru, oranye) kembali dikibarkan setelah dilarang selama era Soviet.

Konflik Nagorno-Karabakh memicu perang antara Armenia dan Azerbaijan (1988–1994), yang menyebabkan puluhan ribu kematian dan pengungsian massal. Armenia berhasil menguasai Nagorno-Karabakh dan wilayah sekitarnya, tetapi konflik ini memperburuk hubungan dengan Azerbaijan dan Turki, yang memberlakukan blokade ekonomi terhadap Armenia.

Deklarasi Kemerdekaan 1990–1991

Pada 23 Agustus 1990, Majelis Agung Armenia mendeklarasikan kedaulatan, menandai langkah awal menuju kemerdekaan penuh. Deklarasi ini merujuk pada Republik Armenia Pertama (1918–1920) dan menegaskan hak bangsa Armenia untuk menentukan nasib sendiri. Setahun kemudian, pada 21 September 1991, Armenia mengadakan referendum nasional, di mana mayoritas penduduk mendukung kemerdekaan. Pada 23 September 1991, Republik Armenia secara resmi didirikan sebagai negara merdeka, seiring runtuhnya Uni Soviet.

Kemerdekaan ini disambut dengan antusiasme, tetapi juga tantangan besar. Armenia menghadapi krisis ekonomi akibat blokade Turki dan Azerbaijan, serta dampak perang Nagorno-Karabakh. Pertanian menjadi sektor penting untuk ketahanan pangan, menyumbang lebih dari 30% PDB pada akhir 1990-an. Dukungan dari diaspora Armenia di seluruh dunia memainkan peran kunci dalam pembangunan ekonomi, dengan kontribusi tahunan mencapai sekitar 20% dari PDB negara.

Pasca-Kemerdekaan dan Tantangan Modern

Setelah kemerdekaan, Armenia mengadopsi sistem pemerintahan republik parlementer, dengan presiden sebagai kepala negara dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Pada 1995, Armenia mengesahkan konstitusi baru yang menggantikan konstitusi era Soviet, menetapkan cabang legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Yerevan tetap menjadi pusat politik, ekonomi, dan budaya, dengan populasi sekitar 2,9 juta jiwa pada 2022.

Konflik Nagorno-Karabakh tetap menjadi isu utama. Meskipun gencatan senjata ditandatangani pada 1994, bentrokan sporadis terus terjadi, dengan eskalasi besar pada 2016 dan 2020. Perang 2020 mengakibatkan kekalahan signifikan bagi Armenia, dengan Azerbaijan merebut kembali sebagian besar wilayah Nagorno-Karabakh. Hal ini memicu krisis politik di Armenia dan meningkatkan ketegangan dengan Azerbaijan.

Secara geopolitik, Armenia menjalin hubungan erat dengan Rusia melalui Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif (CSTO), tetapi juga berpartisipasi dalam program Kemitraan untuk Perdamaian NATO. Armenia adalah anggota Dewan Eropa, Organisasi Kerjasama Ekonomi Laut Hitam, dan pengamat di Liga Arab. Hubungan dengan Prancis juga kuat, ditunjukkan dengan menjadi tuan rumah KTT Francophonie pada 2018.

Budaya dan Identitas Armenia

Identitas Armenia sangat dipengaruhi oleh agama Kristen, yang diadopsi pada 301 M di bawah Raja Tiridates III, berkat usaha Santo Gregorius Illuminator. Gereja Apostolik Armenia tetap menjadi pilar budaya, dengan biara-biara kuno seperti Khor Virap, Geghard, dan Etchmiadzin menjadi simbol sejarah dan spiritualitas. Armenia juga dikenal sebagai “negeri sejuta biara” karena banyaknya situs bersejarah yang masih berdiri.

Bendera triwarna Armenia (merah, biru, oranye) memiliki makna mendalam. Menurut undang-undang 2006, merah melambangkan dataran tinggi Armenia dan perjuangan untuk bertahan hidup, biru melambangkan langit damai, dan oranye melambangkan bakat serta kerja keras rakyat Armenia. Secara populer, merah juga diasosiasikan dengan darah yang tertumpah selama genosida Armenia.

Kesimpulan

Sejarah kemerdekaan Armenia adalah kisah ketahanan dan perjuangan melawan berbagai tantangan, dari penjajahan asing hingga genosida dan konflik modern. Meskipun menghadapi kesulitan ekonomi dan geopolitik, Armenia terus berkembang sebagai negara berdaulat dengan identitas budaya yang kuat. Dukungan dari diaspora Armenia dan warisan sejarahnya yang kaya menjadi kekuatan utama dalam membangun masa depan. Kemerdekaan pada 23 September 1991 bukan hanya akhir dari penjajahan Soviet, tetapi juga awal dari babak baru dalam perjuangan bangsa Armenia untuk mempertahankan identitas dan kedaulatannya.

BACA JUGA: Panduan Lengkap Travelling ke Negara Palau: Petualangan di Surga Pasifik

BACA JUGA: Lingkungan, Sumber Daya Alam, dan Penduduk Negara Palau: Keberlanjutan di Kepulauan Pasifik

BACA JUGA: Seni dan Tradisi Negara Palau: Warisan Budaya Mikronesia yang Kaya