marylandleather.com, 05 MEI 2025
Penulis: Riyan Wicaksono
Editor: Muhammad Kadafi
Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88
Kemerdekaan Albania pada 28 November 1912 menandai tonggak sejarah penting bagi bangsa Albania setelah berabad-abad berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Ottoman. Proses menuju kemerdekaan ini penuh dengan tantangan, melibatkan perjuangan panjang melawan penindasan, kebangkitan nasionalisme, dan negosiasi diplomatik di tengah konflik regional seperti Perang Balkan Pertama. Artikel ini akan mengulas secara mendalam sejarah kemerdekaan Albania, mulai dari latar belakang historis, perjuangan menuju kemerdekaan, deklarasi kemerdekaan di Vlorë, hingga pengakuan internasional dan tantangan awal negara baru tersebut.
Latar Belakang Historis
Dominasi Ottoman dan Kebangkitan Nasionalisme
Albania modern memiliki akar sejarah yang terkait dengan suku Illyrian kuno, yang mendiami wilayah Balkan Barat sejak abad ke-7 SM. Pada abad ke-2 SM, wilayah ini jatuh ke tangan Kekaisaran Romawi, diikuti oleh Kekaisaran Bizantium setelah pembagian Romawi pada 395 M. Pada abad ke-15, Kekaisaran Ottoman mulai menguasai wilayah Albania setelah mengalahkan pahlawan nasional Gjergj Kastrioti Skanderbeg, yang memimpin perlawanan heroik melawan Ottoman dari 1443 hingga kematiannya pada 1468. Selama lebih dari empat abad, Albania menjadi bagian dari provinsi Rumelia di Kekaisaran Ottoman, dengan banyak orang Albania memeluk Islam dan menduduki posisi penting dalam militer dan administrasi Ottoman.
Meskipun menikmati posisi istimewa dalam Kekaisaran Ottoman, sentimen nasionalisme mulai muncul pada abad ke-19, seiring dengan melemahnya kekuasaan Ottoman dan munculnya gerakan nasionalisme di seluruh Balkan. Kebangkitan nasional Albania, atau Rilindja Kombëtare (Renaissance Albania), dipicu oleh intelektual seperti Naim Frashëri dan Abdul Frashëri, yang mempromosikan identitas budaya, bahasa, dan kesadaran nasional Albania. Namun, masyarakat Albania saat itu terpecah belah secara agama (Muslim, Kristen Ortodoks, dan Katolik), bahasa (dialek Gheg dan Tosk), serta struktur sosial (klan pegunungan di utara dan tuan tanah feodal di selatan), yang menghambat persatuan nasional.
Liga Prizren dan Awal Perjuangan
Pada 10 Juni 1878, 47 bey (tuan tanah Muslim) membentuk Liga Prizren di kota Prizren (kini di Kosovo) sebagai respons terhadap Traktat San Stefano dan Kongres Berlin, yang mengancam memecah wilayah berpenduduk Albania kepada Serbia, Montenegro, dan Yunani. Liga Prizren memiliki dua tujuan utama: menyatukan empat vilayet Ottoman yang dihuni oleh orang Albania (Kosovo, Shkodër, Monastir, dan Janina) menjadi satu wilayah otonom dalam Kekaisaran Ottoman, dan memajukan identitas budaya Albania. Meskipun berhasil menarik perhatian dunia, Liga Prizren dihancurkan oleh Ottoman pada 1881 karena dianggap terlalu nasionalis. Namun, liga ini menjadi simbol kebangkitan nasional Albania dan memicu semangat perlawanan lebih lanjut.
Sepanjang akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, pemberontakan bersenjata melawan Ottoman terus terjadi, termasuk pemberontakan pada 1833-1836, 1843-1844, dan 1847. Pada 1908, gerakan Turki Muda (Young Turks) berkuasa di Istanbul dan berjanji melakukan reformasi demokratis, termasuk otonomi untuk wilayah-wilayah di kekaisaran. Namun, ketika janji ini tidak ditepati, orang Albania kembali melancarkan pemberontakan bersenjata pada 1909-1912, yang memuncak pada Pemberontakan Albania 1912. Pemberontakan ini, yang berlangsung dari Januari hingga Agustus 1912, melemahkan kendali Ottoman dan membuka jalan bagi deklarasi kemerdekaan.
Perang Balkan Pertama dan Krisis Wilayah 
Pada Oktober 1912, Perang Balkan Pertama pecah ketika Liga Balkan (Serbia, Yunani, Bulgaria, dan Montenegro) menyatakan perang terhadap Kekaisaran Ottoman yang sedang melemah. Negara-negara ini bertujuan untuk mempartisi wilayah Eropa milik Ottoman, termasuk wilayah berpenduduk Albania. Pasukan Serbia, Montenegro, dan Yunani dengan cepat menduduki sebagian besar wilayah yang diklaim oleh Albania, termasuk Durrës, Shkodër, dan Janina. Situasi ini menciptakan ancaman eksistensial bagi orang Albania, yang khawatir wilayah mereka akan dianeksasi sepenuhnya oleh negara-negara tetangga.
Di tengah kekacauan ini, para pemimpin Albania menyadari bahwa otonomi dalam Kekaisaran Ottoman sudah tidak lagi layak. Mereka beralih ke tujuan yang lebih radikal: kemerdekaan penuh. Ismail Qemali (juga dikenal sebagai Ismail Kemal Bey), seorang mantan anggota parlemen Ottoman dan tokoh kunci dalam gerakan nasional Albania, memainkan peran sentral dalam menggalang dukungan untuk kemerdekaan. Dengan dukungan Austria-Hungaria dan Italia, yang menentang ekspansi Serbia ke Laut Adriatik, Ismail Qemali mengorganisir Kongres Seluruh Albania di Vlorë.
Deklarasi Kemerdekaan di Vlorë 
Pada 28 November 1912, 83 delegasi dari berbagai wilayah Albania, termasuk lebih dari sepertiga dari Kosovo, berkumpul di Vlorë, sebuah kota pelabuhan di Albania selatan yang saat itu masih di bawah kendali Albania. Dalam pertemuan bersejarah yang dikenal sebagai Kuvendi i Vlorës (Majelis Vlorë), Ismail Qemali memimpin sidang dan secara resmi memproklamasikan kemerdekaan Albania dari Kekaisaran Ottoman. Bendera merah dengan elang berkepala dua hitam, yang terinspirasi dari bendera Skanderbeg, dikibarkan sebagai simbol kemerdekaan.
Teks deklarasi kemerdekaan, yang ditulis dalam bahasa Albania (campuran dialek Gheg dan Tosk serta sebagian dalam bahasa Turki Ottoman), berbunyi:
“Di Vlorë pada 15/28 November 1328/1912. Setelah pidato yang disampaikan oleh Ketua Ismail Kemal Bey, yang menyampaikan bahaya besar yang dihadapi Albania saat ini, semua delegasi dengan satu suara memutuskan bahwa Albania, mulai hari ini, harus berdiri sendiri, bebas, dan merdeka.”
Pada 4 Desember 1912, Majelis Vlorë membentuk pemerintahan sementara pertama Albania, dengan Ismail Qemali sebagai presiden dan ketua Dewan Tetua (Pleqësia). Pemerintahan ini hanya memiliki kendali efektif atas wilayah Vlorë, Berat, Fier, dan Lushnjë, karena sebagian besar wilayah lain diduduki oleh pasukan Serbia, Montenegro, atau Yunani. Meski demikian, deklarasi ini merupakan langkah simbolis yang kuat, menandakan kelahiran negara Albania modern.
Pengakuan Internasional dan Tantangan Awal
Deklarasi kemerdekaan Albania di Vlorë bersifat lebih teoretis daripada praktis karena keterbatasan wilayah yang dikuasai. Untuk mendapatkan pengakuan internasional, delegasi Albania mengajukan memorandum ke Konferensi London 1913, yang diadakan oleh enam Kekuatan Besar (Inggris, Jerman, Rusia, Austria-Hungaria, Prancis, dan Italia) untuk menyelesaikan konflik Balkan. Austria-Hungaria dan Italia, yang khawatir akan ekspansi Serbia ke Adriatik, mendukung kemerdekaan Albania. Namun, Rusia, yang mendukung Serbia, awalnya menentangnya.
Pada 17 Desember 1912, Konferensi London mengakui Albania secara de facto sebagai wilayah otonom di bawah kekuasaan Ottoman. Namun, setelah Perang Balkan Kedua dan negosiasi lebih lanjut, Traktat London (30 Mei 1913) mengakui Albania sebagai kerajaan merdeka yang netral di bawah perlindungan Kekuatan Besar. Pada 29 Juli 1913, Albania secara resmi diakui sebagai Kerajaan Albania (Principata e Shqipërisë), dengan Pangeran Wilhelm zu Wied dari Jerman sebagai penguasa pertama. Namun, batas-batas yang ditetapkan oleh Kekuatan Besar sangat merugikan Albania: wilayah Kosovo diberikan kepada Serbia, Çamëria (Epirus Selatan) kepada Yunani, dan beberapa wilayah utara kepada Montenegro, sehingga lebih dari setengah populasi etnis Albania berada di luar perbatasan negara baru.
Pemerintahan Pangeran Wilhelm zu Wied, yang dimulai pada 1914, hanya berlangsung enam bulan karena pemberontakan internal yang dipimpin oleh Essad Pasha Toptani dan pecahnya Perang Dunia I. Albania kemudian diduduki oleh berbagai kekuatan asing, termasuk Serbia, Yunani, dan Italia, hingga akhir perang. Pada 1920, berkat intervensi diplomatik Presiden AS Woodrow Wilson dan masuknya Albania ke Liga Bangsa-Bangsa, kedaulatan Albania diperkuat kembali. Namun, ketidakstabilan politik berlanjut hingga Ahmet Zogu mendeklarasikan Kerajaan Albania pada 1928, dengan dirinya sebagai Raja Zog I.
Tantangan Pasca-Kemerdekaan
Kemerdekaan Albania pada 1912 tidak serta-merta menghasilkan negara yang stabil. Beberapa tantangan utama yang dihadapi meliputi:
-
Partisi Wilayah: Traktat London 1913 memisahkan banyak wilayah berpenduduk Albania, seperti Kosovo dan Çamëria, yang menyebabkan ketegangan etnis dan nasionalisme irredentis yang berlanjut hingga abad ke-21.
-
Ketidakstabilan Politik: Pemerintahan sementara dan Kerajaan Albania di bawah Wilhelm zu Wied menghadapi pemberontakan internal dan intervensi asing.
-
Pendudukan Asing: Selama Perang Dunia I, Albania diduduki oleh berbagai kekuatan, dan pada 1939, Italia di bawah Mussolini menginvasi Albania, mengakhiri kemerdekaan sementara hingga 1944.
-
Keterbelakangan Ekonomi dan Sosial: Albania pada awal kemerdekaan adalah salah satu wilayah termiskin di Eropa, dengan infrastruktur yang minim dan masyarakat yang terpecah belah secara klan dan agama.
Meskipun menghadapi tantangan ini, deklarasi kemerdekaan 1912 meletakkan dasar bagi identitas nasional Albania modern. Hari Kemerdekaan Albania, yang diperingati setiap 28 November, tetap menjadi simbol perjuangan dan ketahanan bangsa Albania, dengan perayaan tahunan di Tirana dan kota-kota lain yang menampilkan parade dan pengibaran bendera nasional.
Warisan dan Signifikansi
Deklarasi kemerdekaan Albania pada 28 November 1912 bukan hanya akhir dari dominasi Ottoman, tetapi juga awal dari perjuangan panjang untuk membangun negara yang bersatu dan berdaulat. Peran tokoh seperti Ismail Qemali, yang dianggap sebagai “Bapak Kemerdekaan Albania,” serta kontribusi intelektual seperti Faik Konica dalam menghidupkan kembali simbol nasional seperti bendera elang berkepala dua, tetap dikenang sebagai bagian integral dari identitas Albania.
Namun, kemerdekaan Albania juga diwarnai oleh rasa sakit akibat partisi wilayah. Wilayah seperti Kosovo, yang kini menjadi negara merdeka sejak 2008, dan Çamëria tetap menjadi isu emosional bagi banyak orang Albania. Perjuangan untuk mempertahankan identitas budaya dan hak etnis di wilayah-wilayah ini terus membentuk dinamika politik Albania modern.
Kesimpulan
Sejarah kemerdekaan Albania adalah kisah tentang ketahanan, keberanian, dan semangat nasionalisme di tengah tekanan eksternal dan tantangan internal. Dari kebangkitan nasional pada abad ke-19 melalui Liga Prizren, pemberontakan melawan Ottoman, hingga deklarasi kemerdekaan di Vlorë pada 1912, orang Albania berhasil mendirikan negara merdeka meskipun dengan wilayah yang terbatas dan ancaman dari negara tetangga. Pengakuan internasional melalui Konferensi London 1913, meskipun tidak sempurna, mengukuhkan Albania sebagai negara berdaulat. Hari ini, kemerdekaan Albania dirayakan sebagai simbol perjuangan panjang menuju kedaulatan, identitas, dan integrasi ke dalam komunitas global, dengan Albania kini menjadi anggota NATO sejak 2009 dan kandidat resmi untuk bergabung dengan Uni Eropa.
BACA JUGA: Seni dan Tradisi Negara Palau: Warisan Budaya Mikronesia yang Kaya
BACA JUGA: Letak Geografis dan Fisik Alami Negara Seychelles
BACA JUGA: Kampanye Publik: Strategi, Implementasi, dan Dampak dalam Mendorong Perubahan Sosial