marylandleather.com, 10 MEI 2025
Penulis: Riyan Wicaksono
Editor: Muhammad Kadafi
Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88
Pendahuluan
Republik Maldives, atau Maladewa, adalah negara kepulauan di Samudra Hindia yang terdiri dari 26 atol dan lebih dari 1.200 pulau karang, dengan hanya sekitar 200 pulau yang berpenghuni. Terletak di sebelah barat daya Sri Lanka dan India, Maldives memiliki sejarah yang kaya dan panjang, mencakup lebih dari 2.500 tahun peradaban. Sejarah kemerdekaan Maldives pada 26 Juli 1965 menandai puncak dari perjuangan panjang melawan pengaruh kolonial Eropa, khususnya Inggris, serta transisi dari kesultanan berusia berabad-abad menuju republik modern. Kemerdekaan ini tidak hanya mengakhiri status protektorat Inggris, tetapi juga membuka babak baru dalam pembentukan identitas nasional Maldives sebagai negara berdaulat di Asia Selatan.
Artikel ini menyajikan analisis mendalam tentang sejarah kemerdekaan Maldives, mencakup latar belakang sejarah, pengaruh kolonial, perjuangan menuju kemerdekaan, transisi pemerintahan, dan dampak jangka panjangnya. Dengan pendekatan profesional dan terperinci, artikel ini menguraikan peristiwa-peristiwa penting, tokoh-tokoh kunci, serta faktor-faktor sosial, politik, dan budaya yang membentuk perjalanan Maldives menuju kedaulatan, sambil menyoroti konteks regional dan global yang relevan.
Latar Belakang Sejarah Maldives 
Asal-Usul dan Peradaban Awal
Maldives memiliki sejarah yang dapat ditelusuri hingga milenium ke-3 SM, dengan bukti arkeologi dan legenda yang menunjukkan pemukiman awal oleh penduduk dari India dan Sri Lanka. Menurut kitab Kitāb fi āthār Mīdhu al-qādimah (Di Reruntuhan Kuno Meedhoo) yang ditulis pada abad ke-17 oleh Allama Ahmed Shihabuddine, pemukim pertama Maldives adalah kelompok yang dikenal sebagai Dheyvis, kemungkinan berasal dari Kalibanga di India sebelum masa Kaisar Asoka (269–232 SM). Catatan ini didukung oleh dokumen pelat tembaga Maladewa, Loamaafaanu, yang merekam sejarah Dinasti Surya, salah satu kerajaan awal Maldives.
Sejak abad ke-6 atau ke-5 SM, Maldives telah memiliki kerajaan yang terorganisasi. Bukti pengaruh budaya India Utara terlihat dari teknik pembuatan kapal dan koin perak, sementara babad Sri Lanka kuno, Mahāvaṃsa (300 SM), mencatat migrasi penduduk Sri Lanka ke kepulauan ini. Selama periode ini, agama Hindu dan Buddha mendominasi, dengan Buddhisme menjadi agama utama hingga abad ke-12. Artefak arkeologi, seperti stupa dan patung Buddha, menunjukkan perkembangan seni dan arsitektur yang signifikan selama era Buddha, yang berlangsung selama sekitar 1.400 tahun.
Masuknya Islam
Pada abad ke-12, Islam diperkenalkan ke Maldives oleh seorang ulama Maroko, Abu al-Barakat Yusuf al-Barbari, yang diyakini telah mengislamkan Raja Dhovemi pada tahun 1153 (meskipun beberapa sumber menyebut 1193). Sejak itu, Islam menjadi agama resmi, menggantikan Buddhisme dan memengaruhi budaya, hukum, dan kehidupan sehari-hari masyarakat Maldives. Periode ini juga memperkuat hubungan perdagangan dengan dunia Arab, Persia, dan Asia Tenggara, menjadikan Maldives sebagai pusat perdagangan penting di Samudra Hindia.
Nama dan Identitas
Nama “Maldives” atau “Maladewa” berasal dari bahasa Sanskerta, mālā (untaian/kalung) dan dvīpa (pulau), merujuk pada gugusan pulau yang menyerupai untaian kalung. Dalam bahasa Sinhala, kepulauan ini disebut Maala Divaina (“Untaian Pulau-pulau”), sementara dalam bahasa Dhivehi, penduduk setempat menyebut negaranya Divehi Rājje (Kerajaan Kepulauan). Istilah Dhivehin merujuk pada penduduk Maldives, yang secara etnis merupakan campuran Sinhala, Dravida, Arab, dan Afrika, dengan pengaruh budaya dari India Selatan dan Sri Lanka.
Pengaruh Kolonial di Maldives 
Penjajahan Eropa Awal
Maldives mulai merasakan pengaruh kekuatan kolonial Eropa pada abad ke-16. Pada tahun 1558, Portugis mendirikan kekuasaan di Maldives, mengendalikan kepulauan ini dari pangkalan mereka di Goa, India. Portugis berusaha menyebarkan agama Kristen, tetapi menghadapi perlawanan sengit dari penduduk setempat. Pemberontakan yang dipimpin oleh Muhammad Thakurufaanu al-Auzam dan kedua saudaranya pada tahun 1573 berhasil mengusir Portugis, sebuah peristiwa yang kini diperingati sebagai Hari Nasional Maldives.
Pada abad ke-17, Belanda menggantikan Portugis sebagai kekuatan dominan di kawasan Ceylon (sekarang Sri Lanka) dan mendirikan hegemoni atas urusan eksternal Maldives. Namun, Belanda tidak terlibat langsung dalam pemerintahan lokal, yang tetap dijalankan sesuai tradisi Islam oleh kesultanan setempat.
Protektorat Inggris (1887–1965)
Pada tahun 1796, Inggris mengusir Belanda dari Ceylon dan mulai memperluas pengaruhnya ke Maldives. Status Maldives sebagai protektorat Inggris diresmikan melalui perjanjian pada tahun 1887, ditandatangani oleh Sultan Muhammad Mueenuddeen II. Berdasarkan perjanjian ini, Inggris mengendalikan hubungan luar dan pertahanan Maldives, sementara kesultanan mempertahankan otonomi dalam urusan dalam negeri. Maldives diwajibkan membayar upeti tahunan kepada Inggris, tetapi pemerintahan lokal tetap dijalankan oleh institusi tradisional Islam.
Selama periode protektorat, Inggris membangun pangkalan militer di Gan, Pulau Addu, pada masa Perang Dunia II, memanfaatkan lokasi strategis Maldives di Samudra Hindia. Namun, pengaruh Inggris juga memicu ketegangan, terutama di kalangan penduduk setempat yang mulai menuntut kebebasan dari dominasi asing. Pada tahun 1950-an, gelombang dekolonisasi di Asia, termasuk kemerdekaan India (1947) dan Ceylon (1948), menginspirasi aspirasi kemerdekaan di Maldives.
Pemberontakan Suvadive (1959–1963)
Salah satu tantangan terbesar selama periode protektorat adalah pemberontakan Republik Suvadive di atol selatan (Addu, Huvadhu, dan Fuvahmulah). Pada tahun 1959, penduduk setempat, yang merasa diabaikan oleh pemerintah pusat di Malé, mendeklarasikan Republik Suvadive yang merdeka di bawah kepemimpinan Abdullah Afif Didi. Pemberontakan ini didukung oleh Inggris, yang melihat peluang untuk mempertahankan pangkalan militer mereka di Gan. Namun, pemerintah Maldives, dengan dukungan pasukan dari Malé, berhasil menekan pemberontakan pada tahun 1963, mengembalikan atol selatan ke dalam kendali kesultanan. Pemberontakan ini memperlihatkan ketegangan antara pemerintah pusat dan wilayah periferi, sekaligus memperkuat tekad untuk mencapai kemerdekaan penuh dari Inggris.
Perjuangan Menuju Kemerdekaan 
Konteks Global dan Regional
Pada pertengahan abad ke-20, Inggris menghadapi tekanan besar untuk mengakhiri penjajahan di Asia. Kekalahan di beberapa koloni, ditambah dengan munculnya gerakan nasionalis di seluruh dunia, melemahkan kemampuan Inggris untuk mempertahankan imperiumnya. Di Asia Selatan, kemerdekaan India, Pakistan, dan Ceylon menjadi katalis bagi negara-negara kecil seperti Maldives untuk menuntut kedaulatan. Selain itu, pembentukan organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1945 memberikan platform bagi negara-negara kecil untuk menyuarakan hak mereka atas kemerdekaan.
Di Maldives, kesadaran politik mulai tumbuh di kalangan elit, terutama setelah pengenalan konstitusi pertama pada tahun 1932, yang memperkenalkan parlemen (People’s Majlis) dan membatasi kekuasaan sultan. Meskipun konstitusi ini masih mempertahankan sistem monarki, ia menjadi langkah awal menuju modernisasi politik.
Peran Ibrahim Nasir
Tokoh kunci dalam perjuangan kemerdekaan Maldives adalah Ibrahim Nasir Rannabandeyri Kilegefan, yang menjabat sebagai Perdana Menteri pada saat kemerdekaan. Nasir, yang dikenal karena sikap nasionalisnya, memainkan peran penting dalam negosiasi dengan Inggris. Ia memimpin delegasi Maldives untuk menuntut penghentian status protektorat dan pengakuan penuh atas kedaulatan Maldives dalam urusan luar negeri dan pertahanan.
Nasir juga menghadapi tantangan internal, termasuk menjaga stabilitas di tengah ketegangan pasca-pemberontakan Suvadive. Kepemimpinannya yang tegas, meskipun kemudian dikritik karena sifat otoriter, memastikan bahwa Maldives tetap bersatu menjelang kemerdekaan.
Perjanjian Kemerdekaan 1965
Puncak perjuangan kemerdekaan terjadi pada 26 Juli 1965, ketika sebuah perjanjian ditandatangani antara Maldives dan Inggris. Perjanjian ini ditandatangani oleh Ibrahim Nasir atas nama Sultan Muhammad Fareed Didi dan oleh Sir Michael Walker, Duta Besar Inggris untuk Kepulauan Maldives, atas nama pemerintah Inggris. Perjanjian ini secara resmi mengakhiri otoritas Inggris atas pertahanan dan urusan luar Maldives, memberikan kedaulatan penuh kepada negara tersebut. Upacara kemerdekaan diadakan di Kediaman Komisaris Tinggi Inggris di Kolombo, Sri Lanka, mencerminkan pentingnya hubungan regional dalam proses ini.
Perjanjian tersebut juga memastikan bahwa Inggris tetap memiliki akses militer terbatas ke pangkalan di Gan hingga 1976, sebagai bagian dari kesepakatan transisi. Meskipun demikian, Maldives kini bebas menentukan arah politik dan ekonominya sendiri, sebuah langkah yang disambut dengan antusiasme oleh rakyat Maldives.
Transisi Pasca-Kemerdekaan 
Kesultanan Pasca-Kemerdekaan (1965–1968)
Setelah kemerdekaan, Maldives tetap mempertahankan sistem kesultanan di bawah kepemimpinan Sultan Muhammad Fareed Didi, yang mengambil gelar raja. Namun, sistem monarki mulai menghadapi tekanan untuk reformasi, seiring dengan meningkatnya aspirasi demokratis dan modernisasi. Pada tanggal 15 November 1967, parlemen Maldives (People’s Majlis) mengadakan pemungutan suara untuk menentukan apakah Maldives akan tetap menjadi monarki konstitusional atau beralih ke sistem republik. Dengan hasil 81,23% mendukung republik, kesultanan secara resmi dihapuskan pada tahun 1968.
Pembentukan Republik (1968)
Pada 11 November 1968, Maldives secara resmi menjadi republik dengan nama Republik Maldives (Dhivehi Raajjeyge Jumhooriyyaa). Ibrahim Nasir, yang sebelumnya menjabat sebagai Perdana Menteri, menjadi Presiden pertama. Sistem pemerintahan presidensial yang baru memungkinkan presiden dipilih langsung oleh rakyat setiap lima tahun, menandai perubahan signifikan dari monarki absolut menuju demokrasi terpimpin.
Namun, pemerintahan Nasir juga ditandai oleh kecenderungan otoriter. Ia menghadapi kritik karena membatasi kebebasan politik dan menekan oposisi, termasuk dalam menangani dampak pemberontakan Suvadive. Meskipun demikian, Nasir berhasil meletakkan dasar bagi pembangunan nasional, termasuk pengembangan sektor pariwisata, yang dimulai dengan pembukaan resor pertama, Kurumba Maldives, pada tahun 1972.
Perubahan Bendera
Kemerdekaan juga membawa perubahan pada simbol nasional Maldives, khususnya bendera. Sebelum kemerdekaan, bendera Maldives terdiri dari bidang merah dengan garis hitam dan putih di sisi kerekan, ditambah bulan sabit putih yang melambangkan Islam. Setelah kemerdekaan pada 25 Juli 1965, garis hitam dan putih dihapus untuk menyederhanakan desain, menghasilkan bendera modern yang terdiri dari bidang merah (melambangkan darah pahlawan), persegi panjang hijau (perdamaian dan kemakmuran), dan bulan sabit putih (keimanan Islam). Perubahan ini mencerminkan semangat baru Maldives sebagai negara merdeka yang ingin menegaskan identitasnya di panggung internasional.
Dampak Kemerdekaan
Politik dan Pemerintahan
Kemerdekaan memungkinkan Maldives untuk membangun institusi pemerintahan modern dan menjalin hubungan diplomatik dengan dunia. Maldives menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1965, Persemakmuran (Commonwealth of Nations) pada tahun 1982 (meskipun sempat keluar pada 2016 dan bergabung kembali pada 2020), serta organisasi regional seperti Asosiasi Negara-Negara Asia Selatan untuk Kerjasama Regional (SAARC). Sistem pemerintahan presidensial yang diadopsi pada 1968 terus berkembang, meskipun menghadapi tantangan seperti instabilitas politik dan reformasi demokrasi pada dekade-dekade berikutnya.
Ekonomi dan Pariwisata
Kemerdekaan membuka peluang untuk diversifikasi ekonomi Maldives, yang sebelumnya bergantung pada perikanan, khususnya ekspor ikan tuna. Pada tahun 1970-an, sektor pariwisata mulai dikembangkan, memanfaatkan keindahan alam Maldives, seperti pantai berpasir putih, terumbu karang, dan laguna biru. Saat ini, pariwisata menyumbang sebagian besar pendapatan nasional, dengan resor mewah menarik wisatawan dari seluruh dunia. Perikanan tetap menjadi sektor penting, tetapi pariwisata telah menjadi tulang punggung ekonomi Maldives, menjadikannya salah satu negara dengan pendapatan per kapita tertinggi di kawasan SAARC.
Budaya dan Identitas
Kemerdekaan memperkuat identitas nasional Maldives sebagai negara Muslim 100%, dengan Islam sebagai agama resmi berdasarkan konstitusi 2008. Bahasa Dhivehi, yang ditulis dalam aksara Thaana, tetap menjadi simbol budaya yang kuat. Tradisi seperti festival Maulūdu (Maulid) terus dirayakan, mencerminkan pengaruh Islam yang mendalam. Namun, tantangan modern seperti perubahan iklim dan kenaikan permukaan laut mengancam kelangsungan budaya dan kehidupan di Maldives, mendorong pemerintah untuk mengadvokasi isu lingkungan di panggung global.
Tantangan Lingkungan
Dengan ketinggian rata-rata hanya 1,5 meter di atas permukaan laut, Maldives adalah negara dengan permukaan terendah di dunia, menjadikannya sangat rentan terhadap kenaikan permukaan laut akibat perubahan iklim. Setelah kemerdekaan, Maldives mulai menyuarakan kekhawatiran ini secara internasional, termasuk melalui aksi simbolis seperti rapat kabinet di bawah laut pada tahun 2009 untuk menarik perhatian dunia terhadap ancaman iklim. PBB memperingatkan bahwa Maldives berisiko tidak dapat dihuni pada tahun 2100 jika tren kenaikan permukaan laut berlanjut, menjadikan isu ini prioritas utama dalam kebijakan nasional.
Kelebihan dan Kekurangan Proses Kemerdekaan
Kelebihan
-
Kedaulatan Penuh: Kemerdekaan mengakhiri dominasi asing, memungkinkan Maldives menentukan nasibnya sendiri dalam politik dan ekonomi.
-
Transisi ke Republik: Pergantian dari monarki ke republik mencerminkan aspirasi demokratis dan modernisasi politik.
-
Pengembangan Pariwisata: Kemerdekaan membuka peluang untuk membangun industri pariwisata, yang menjadi pendorong utama ekonomi.
-
Identitas Nasional: Kemerdekaan memperkuat identitas Maldives sebagai negara Muslim dan anggota komunitas internasional.
Kekurangan
-
Tantangan Stabilitas Politik: Pemerintahan otoriter pasca-kemerdekaan menghambat perkembangan demokrasi penuh.
-
Ketergantungan Ekonomi: Meskipun pariwisata berkembang, ketergantungan pada sektor ini membuat ekonomi rentan terhadap guncangan global.
-
Konflik Regional: Pemberontakan Suvadive menunjukkan tantangan dalam menyatukan kepulauan yang tersebar secara geografis.
-
Warisan Kolonial: Kehadiran militer Inggris di Gan hingga 1976 menunjukkan bahwa kemerdekaan tidak sepenuhnya bebas dari pengaruh asing.
Perbandingan dengan Kemerdekaan Negara Lain
India (1947)
-
Kesamaan: Baik Maldives maupun India memperjuangkan kemerdekaan dari Inggris di tengah gelombang dekolonisasi pasca-Perang Dunia II.
-
Perbedaan: India menghadapi konflik internal yang lebih kompleks (misalnya, pemisahan Pakistan), sementara Maldives memiliki skala yang lebih kecil dan konflik yang lebih terlokalisasi (Suvadive).
Sri Lanka (1948)
-
Kesamaan: Kedua negara merupakan kepulauan di Samudra Hindia yang mencapai kemerdekaan dari Inggris dengan transisi relatif damai.
-
Perbedaan: Sri Lanka memiliki populasi dan sumber daya yang lebih besar, memungkinkan diversifikasi ekonomi yang lebih cepat dibandingkan Maldives.
Malaysia (1957)
-
Kesamaan: Kedua negara mengalami transisi dari monarki tradisional menuju sistem pemerintahan modern pasca-kemerdekaan.
-
Perbedaan: Malaysia menghadapi tantangan integrasi multietnis, sedangkan Maldives memiliki populasi yang lebih homogen secara budaya dan agama.
Warisan Kemerdekaan Maldives
Kemerdekaan Maldives pada 1965 adalah tonggak sejarah yang tidak hanya mengakhiri penjajahan asing, tetapi juga membentuk identitas modern negara ini sebagai negara kepulauan Muslim yang berdaulat. Warisan kemerdekaan terlihat dalam:
-
Keberlanjutan Islam: Islam tetap menjadi pilar budaya dan hukum, dengan Maldives dikenal sebagai negara 100% Muslim.
-
Pariwisata Global: Keindahan alam Maldives telah menjadikannya destinasi wisata terkemuka, mendukung pertumbuhan ekonomi.
-
Advokasi Iklim: Maldives telah menjadi suara terdepan dalam isu perubahan iklim, memanfaatkan statusnya sebagai negara kecil untuk memengaruhi kebijakan global.
-
Identitas Nasional: Bendera modern dan sistem republik mencerminkan semangat kedaulatan dan kebanggaan nasional.
Namun, tantangan seperti ancaman lingkungan, ketergantungan pada pariwisata, dan reformasi demokrasi tetap menjadi isu penting yang harus diatasi untuk memastikan masa depan yang berkelanjutan.
Kesimpulan
Sejarah kemerdekaan Maldives adalah kisah tentang ketahanan, adaptasi, dan transformasi. Dari kerajaan Buddha kuno hingga kesultanan Islam, dan dari protektorat Inggris hingga republik modern, Maldives telah menempuh perjalanan panjang untuk mencapai kedaulatan pada 26 Juli 1965. Dipimpin oleh tokoh seperti Ibrahim Nasir dan didukung oleh semangat nasionalisme, Maldives berhasil mengatasi tantangan kolonialisme dan konflik internal untuk membangun identitas sebagai negara berdaulat di Asia Selatan.
Meskipun menghadapi tantangan seperti ancaman perubahan iklim dan kebutuhan akan reformasi politik, kemerdekaan telah memberikan Maldives kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri, membangun ekonomi berbasis pariwisata, dan memperjuangkan isu global. Seperti yang dikatakan oleh Presiden Mohamed Muizzu pada 2024, “Maldives adalah negara kecil dengan hati besar,” mencerminkan semangat ketahanan dan solidaritas yang terus mendorong negara ini maju. Dengan warisan sejarahnya yang kaya dan visi untuk masa depan, Maldives tetap menjadi contoh inspiratif bagi negara-negara kecil di dunia.
Referensi
-
“Maladewa – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.” id.wikipedia.org, 20 April 2004.
-
“Mengenal Lebih Dekat Maldives: Profil, Sejarah, dan Keistimewaannya.” jurno.id, 7 Juni 2024.
-
“Profil Negara Maladewa (Maldives).” ilmupengetahuanumum.com, 4 Desember 2018.
-
“Maldives – Wikipedia Bahasa Melayu, ensiklopedia bebas.” ms.wikipedia.org, 15 Maret 2004.
-
“7 Fakta Maldives, Negara Islam yang Tolak Turis Israel.” travel.detik.com, 5 Juni 2024.
BACA JUGA: Sejarah Kemerdekaan Saint Kitts and Nevis: Perjalanan Menuju Kedaulatan
BACA JUGA: Panduan Lengkap Perawatan Ikan Gurame dari Lahir sampai Dewasa Siap Produksi
BACA JUGA: Suaka Laut: Konservasi Ekosistem Laut untuk Masa Depan Bumi