Sejarah Kemerdekaan Denmark: Perjalanan Panjang Menuju Kedaulatan dan Monarki Konstitusional

Sejarah Kemerdekaan Denmark: Perjalanan Panjang Menuju Kedaulatan dan Monarki Konstitusional

marylandleather.com, 14 MEI 2025

Penulis: Riyan Wicaksono

Editor: Muhammad Kadafi

Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88

 

 

Denmark, sebagai salah satu kerajaan tertua di Eropa, memiliki sejarah kemerdekaan yang unik dan kompleks. Berbeda dengan negara-negara yang meraih kemerdekaan melalui proklamasi melawan penjajahan kolonial, kemerdekaan Denmark lebih tepat dipahami sebagai proses panjang pembentukan kedaulatan nasional, konsolidasi wilayah, dan evolusi dari monarki absolut menuju monarki konstitusional modern. Sejarah ini mencakup era Viking, unifikasi kerajaan pada abad ke-8, pengaruh Uni Kalmar, tantangan dari konflik wilayah, pendudukan Jerman selama Perang Dunia II, hingga posisi Denmark sebagai negara berdaulat yang progresif saat ini. Artikel ini menguraikan secara mendetail perjalanan sejarah kemerdekaan Denmark, menyoroti peristiwa penting, transformasi politik, dan faktor yang membentuk identitas nasionalnya.

1. Latar Belakang Sejarah Awal Denmark

1.1. Prasejarah dan Permukiman Awal

Berdasarkan temuan arkeologi, wilayah Denmark telah dihuni sejak sekitar 12.500 SM, setelah mundurnya lapisan es dari Zaman Es terakhir. Bekas-bekas pertanian ditemukan sekitar 3900 SM, menandakan transisi dari masyarakat pemburu-pengumpul ke komunitas agraris. Antara 500 SM hingga 1 M, penduduk asli Denmark mulai bermigrasi ke selatan, digantikan oleh suku Dane yang berasal dari Pulau Zealand (Sjælland). Suku-suku ini menjalin hubungan dagang dengan Romawi Kuno, yang memperkenalkan pengaruh budaya awal ke wilayah tersebut.

Pada Zaman Besi Pra-Rom (500 SM–1 M), struktur pertahanan seperti Danevirke mulai dibangun sekitar abad ke-3 untuk melindungi wilayah dari serangan luar. Ini menunjukkan adanya organisasi sosial dan politik yang semakin terstruktur.

1.2. Era Viking dan Awal Penyatuan

    Sejarah Skandinavia -      

Antara abad ke-8 hingga ke-10, Denmark dikenal sebagai pusat aktivitas Viking, yang melakukan ekspedisi perdagangan, penjarahan, dan kolonisasi di seluruh Eropa. Bangsa Viking Denmark tidak hanya memengaruhi Inggris, Prancis, dan wilayah Baltik, tetapi juga memperkuat identitas maritim Denmark. Pada masa pemerintahan Raja Gudfred sekitar tahun 804, wilayah Kerajaan Denmark mencakup Jutlandia, Scania, dan sebagian besar pulau-pulau di wilayah saat ini, kecuali Bornholm.

Penyatuan Denmark sebagai kerajaan bersatu dimulai pada abad ke-8, dengan dokumen sejarah menyebutkan wilayah dan suku Dane sekitar tahun 500 M. Pada abad ke-10, di bawah Raja Gorm the Old dan putranya Harald Bluetooth, Denmark mulai dikristenkan, sebagian besar karena alasan politik untuk menghindari serangan dari Kekaisaran Romawi Suci. Harald Bluetooth, yang memerintah sekitar 958–986, dianggap sebagai raja pertama yang mengkonsolidasikan Denmark sebagai kerajaan terpadu, dengan batu peringatan Jelling sebagai simbol unifikasi dan kristenisasi. Monarki Denmark yang berasal dari era ini adalah yang tertua di Eropa, berlanjut hingga saat ini dengan Raja Frederik X sebagai kepala negara.

2. Pembentukan Kedaulatan Awal

2.1. Abad Pertengahan dan Ekspansi Wilayah

Pada Abad Pertengahan, Denmark memperluas wilayahnya hingga mencakup Schleswig dan Holstein di Jerman Utara. Pada tahun 1397, Denmark membentuk Uni Kalmar bersama Norwegia dan Swedia-Finlandia di bawah kepemimpinan Ratu Margaret I. Uni ini bertujuan untuk menyatukan kekuatan Skandinavia melawan ancaman eksternal, seperti Hanseatic League dan Kekaisaran Romawi Suci. Namun, dominasi Denmark dalam uni ini memicu ketegangan, terutama dengan Swedia, yang akhirnya memisahkan diri pada tahun 1523 setelah serangkaian konflik.

Uni Kalmar menegaskan posisi Denmark sebagai kekuatan regional, tetapi juga menunjukkan tantangan dalam menjaga kedaulatan atas wilayah yang beragam secara budaya dan politik. Setelah bubarnya Uni Kalmar, Denmark mempertahankan aliansi dengan Norwegia melalui Denmark-Norwegia, yang berlangsung hingga 1814 dan mencakup koloni seperti Islandia, Kepulauan Faroe, dan Greenland.

2.2. Konflik Wilayah dan Kehilangan Teritori

Pada abad ke-17, Denmark terlibat dalam serangkaian perang dengan Swedia, yang mengakibatkan kehilangan wilayah signifikan. Perjanjian Roskilde (1658) memaksa Denmark menyerahkan Skåne, Blekinge, dan Bornholm kepada Swedia, meskipun Denmark berhasil mempertahankan Trøndelag dan Bornholm dalam perjanjian berikutnya. Perang Scania (1675–1679) gagal mengembalikan Skåne, menandai kemunduran pengaruh Denmark di Baltik.

Pada abad ke-18, Denmark mengadopsi kebijakan netralitas, yang membawa kemakmuran melalui perdagangan dengan pihak-pihak yang bertikai, seperti selama Perang Napoleon. Namun, netralitas ini dianggap sebagai pengkhianatan oleh Inggris, yang menyerang Kopenhagen pada 1801 dan 1807, menyebabkan kerugian ekonomi besar. Akibat Perjanjian Kiel (1814), Denmark kehilangan Norwegia kepada Swedia, tetapi mempertahankan Kepulauan Faroe, Greenland, dan Islandia. Kehilangan Norwegia adalah pukulan besar bagi kedaulatan Denmark, memaksa negara ini untuk fokus pada pembangunan dalam negeri.

3. Transisi Menuju Monarki Konstitusional

3.1. Revolusi Eropa 1848 dan Konstitusi 1849

    Denmark - Wikiwand      

Pada tahun 1848, gelombang liberalisme dan nasionalisme menyapu Eropa, termasuk Denmark. Gerakan ini mendorong tuntutan untuk mengakhiri monarki absolut dan memperkenalkan sistem pemerintahan yang lebih demokratis. Pada 5 Juni 1849, Raja Frederik VII menandatangani Konstitusi Denmark, yang mengakhiri monarki absolut dan menetapkan monarki konstitusional dengan sistem parlementer. Konstitusi ini memperkenalkan Folketing (parlemen) dan menjamin hak-hak sipil seperti kebebasan berbicara dan berkumpul, menandai langkah besar menuju kedaulatan rakyat.

Namun, transisi ini tidak berjalan mulus. Perang Schleswig Pertama (1848–1851) dipicu oleh konflik antara nasionalis Denmark dan Jerman atas wilayah Schleswig dan Holstein. Meskipun Denmark memenangkan perang ini, Perang Schleswig Kedua (1864) berakhir dengan kekalahan Denmark melawan Prusia, yang mengakibatkan kehilangan Schleswig dan Holstein. Kekalahan ini memaksa Denmark untuk memperkuat identitas nasionalnya sebagai negara kecil namun kohesif, dengan fokus pada reformasi sosial dan ekonomi.

3.2. Industrialisasi dan Reformasi Sosial

Setelah kehilangan wilayah, Denmark mengalami transformasi internal pada pertengahan abad ke-19. Industrialisasi dimulai, dengan Denmark menjadi eksportir pertanian utama ke Eropa. Reformasi sosial dan pasar tenaga kerja pada awal abad ke-20 meletakkan dasar bagi model negara kesejahteraan (welfare state) modern, yang menekankan kesetaraan sosial dan kesejahteraan rakyat. Kebijakan netralitas Denmark selama Perang Dunia I (1914–1918) memungkinkan negara ini tetap berdaulat dan fokus pada pembangunan ekonomi, meskipun Islandia memperoleh kemerdekaan parsial pada 1918.

4. Tantangan Kedaulatan: Pendudukan Jerman dan Perang Dunia II

4.1. Invasi Jerman 1940

    Mengurai Sejarah Perang Dunia II: Dari Invasi Jerman ke Polandia hingga  kemerdekaan Indonesia Halaman 2 - Kompasiana.com      

Meskipun Denmark mempertahankan netralitas, Jerman menyerang pada 9 April 1940 melalui Operasi Weserübung. Pendudukan ini berlangsung hingga Mei 1945 dan merupakan salah satu tantangan terbesar terhadap kedaulatan Denmark. Pemerintah Denmark awalnya memilih kerja sama terbatas dengan Jerman untuk menjaga fungsi institusi nasional, tetapi simpati terhadap Sekutu tetap kuat. Pada tahun 1943, gerakan perlawanan rakyat memuncak, menyebabkan Jerman mengambil alih pemerintahan penuh dan menahan 1.900 polisi Denmark ke kamp konsentrasi Buchenwald.

Selama pendudukan, Islandia menyatakan kemerdekaan pada tahun 1944, memutuskan hubungan dengan monarki Denmark. Namun, Denmark berhasil mempertahankan Kepulauan Faroe dan Greenland sebagai bagian dari Kerajaan Denmark, dengan otonomi yang diberikan kepada Faroe pada 1948 dan Greenland pada 1979.

4.2. Pembebasan dan Pemulihan Kedaulatan

Denmark dibebaskan oleh pasukan Sekutu pada 5 Mei 1945. Setelah perang, Denmark bergabung dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1945 dan menjadi anggota pendiri NATO pada 1949, menandakan komitmennya untuk menjaga kedaulatan melalui aliansi internasional. Pada tahun 1973, Denmark bergabung dengan Masyarakat Ekonomi Eropa (kini Uni Eropa), tetapi mempertahankan opsi keluar (opt-outs) seperti penggunaan mata uang krone, menegaskan kedaulatan ekonominya.

Pemulihan pasca-perang juga melibatkan penguatan model kesejahteraan sosial, yang menjadikan Denmark salah satu negara dengan standar hidup tertinggi di dunia. Reformasi ini memperkuat kohesi sosial dan identitas nasional, yang menjadi pilar kedaulatan modern Denmark.

5. Denmark Modern: Kedaulatan dalam Kerajaan Denmark

5.1. Struktur Kerajaan Denmark

    Gedung Pemerintahan di Denmark - Tripadvisor      

Kerajaan Denmark saat ini mencakup Denmark metropolitan, Kepulauan Faroe, dan Greenland, yang disatukan di bawah monarki konstitusional. Meskipun bukan federasi, ketiga wilayah ini memiliki sistem hukum otonom, dengan Faroe dan Greenland memiliki pemerintahan mandiri sejak 1948 dan 1979. Konstitusi Kerajaan Denmark mengatur hubungan ini, dengan Folketing, pemerintah, dan Mahkamah Agung sebagai otoritas pusat. Hubungan ini dikenal sebagai rigsfællesskabet (persatuan kerajaan), menegaskan kedaulatan uniter di bawah Raja Frederik X.

Greenland, khususnya, memiliki aspirasi kemerdekaan yang kuat, didorong oleh sejarah kolonisasi dan identitas budaya Inuit. Pada 2009, Greenland memperoleh “self-rule” yang lebih luas, tetapi tetap berada di bawah Kerajaan Denmark untuk urusan luar negeri dan pertahanan. Aspirasi ini mencerminkan dinamika kedaulatan dalam kerajaan, di mana Denmark harus menyeimbangkan otonomi wilayah dengan persatuan nasional.

5.2. Identitas Nasional dan Progresivisme

Denmark modern dikenal sebagai salah satu negara paling progresif secara sosial. Pada 1969, Denmark menjadi negara pertama yang melegalkan pornografi, dan pada 1989, memperkenalkan kemitraan sesama jenis, diikuti oleh pernikahan sesama jenis pada 2012. Kesetaraan sosial dan kesederhanaan adalah nilai inti budaya Denmark, yang diperkuat oleh sistem kesejahteraan yang kuat. Dalam studi empati global pada 2016, Denmark menempati peringkat ke-4, mencerminkan budaya yang berorientasi pada kesejahteraan kolektif.

Posisi Denmark sebagai negara Nordik juga memperkuat kedaulatannya melalui ikatan budaya dengan Swedia dan Norwegia, serta keanggotaan dalam Dewan Nordik, OECD, dan Area Schengen. Bahasa Denmark, meskipun mirip dengan Norwegia dan Swedia, menjadi penanda identitas nasional yang kuat.

6. Tantangan dan Prospek Kedaulatan

6.1. Tantangan Eksternal

Denmark menghadapi tantangan kedaulatan di era modern, termasuk tekanan geopolitik di Arktik, di mana Kerajaan Denmark memiliki klaim teritorial di Lomonosov Ridge dan wilayah lainnya. Ketegangan dengan negara-negara seperti Rusia dan Kanada atas sumber daya Arktik menuntut diplomasi yang kuat. Selain itu, keanggotaan di Uni Eropa memunculkan perdebatan tentang kedaulatan nasional, terutama terkait kebijakan imigrasi dan ekonomi.

6.2. Aspirasi Greenland dan Faroe

Aspirasi kemerdekaan Greenland, yang didorong oleh sejarah kolonisasi dan kepentingan strategis di Arktik, menjadi tantangan internal bagi kedaulatan Kerajaan Denmark. Perdana Menteri Greenland Múte Egede pada 2025 menyerukan langkah menuju kemerdekaan, meskipun hubungan dengan Denmark tetap diperkuat untuk saat ini. Kepulauan Faroe, meskipun kurang vokal, juga memiliki otonomi signifikan, yang dapat memengaruhi dinamika kerajaan di masa depan.

6.3. Kontribusi Global

Denmark telah memberikan kontribusi signifikan bagi dunia melalui pendekatan kooperatif dan tanpa kekerasan dalam menyelesaikan konflik. Sebagai pelopor dalam kebijakan lingkungan, Denmark mendirikan Kementerian Lingkungan pada 1971 dan menandatangani perjanjian seperti Protokol Kyoto untuk memerangi perubahan iklim. Namun, jejak ekologi per kapitanya yang tinggi menunjukkan tantangan dalam mencapai keberlanjutan penuh.

7. Kesimpulan

Sejarah kemerdekaan Denmark adalah kisah tentang ketahanan, adaptasi, dan evolusi. Dari penyatuan kerajaan pada abad ke-8 di bawah Harald Bluetooth hingga transisi menuju monarki konstitusional pada 1849, Denmark telah menghadapi berbagai tantangan, termasuk kehilangan wilayah, pendudukan asing, dan tekanan geopolitik modern. Meskipun tidak memiliki momen proklamasi kemerdekaan tunggal, kedaulatan Denmark dibentuk melalui konsolidasi wilayah, reformasi politik, dan penguatan identitas nasional. Saat ini, sebagai monarki konstitusional yang progresif, Denmark menjaga kedaulatannya melalui aliansi internasional, model kesejahteraan sosial, dan hubungan harmonis dengan Kepulauan Faroe dan Greenland, meskipun menghadapi dinamika otonomi wilayah. Dengan warisan sejarah yang kaya dan visi masa depan yang inklusif, Denmark tetap menjadi contoh negara kecil yang berpengaruh di panggung global.

Sumber Referensi

BACA JUGA: Panduan Lengkap Travelling ke Republik Ceko untuk Wisatawan Indonesia

BACA JUGA : Lingkungan, Sumber Daya Alam, dan Penduduk Republik Ceko: Analisis Mendalam

BACA JUGA : Seni dan Tradisi Negara Republik Ceko: Warisan Budaya yang Kaya dan Beragam