marylandleather.com, 23 MEI 2025
Penulis: Riyan Wicaksono
Editor: Muhammad Kadafi
Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88
Republik Kiribati, sebuah negara kepulauan kecil di Samudra Pasifik tengah, meraih kemerdekaan dari Britania Raya pada 12 Juli 1979. Terletak di wilayah Mikronesia dan Polinesia, Kiribati terdiri dari 33 atol dan satu pulau karang yang terangkat, Banaba, dengan luas daratan hanya 811 km² yang tersebar di lebih dari 3,5 juta km² lautan. Kemerdekaan Kiribati menandai puncak dari perjuangan panjang untuk kedaulatan, yang dipengaruhi oleh faktor kolonialisme, eksploitasi sumber daya alam, dan dinamika geopolitik di Pasifik. Artikel ini akan menguraikan secara mendalam sejarah kemerdekaan Kiribati, mulai dari asal-usul kepulauan, masa kolonial, proses menuju kemerdekaan, hingga tantangan pasca-kemerdekaan, dengan fokus pada akurasi dan keandalan informasi berdasarkan sumber-sumber terpercaya.
Latar Belakang Sejarah
Penghuni Awal dan Pengaruh Budaya
Wilayah yang kini disebut Kiribati telah dihuni oleh masyarakat Austronesia yang berbicara dalam bahasa Oseanik sejak sekitar 3000 SM hingga 1300 M. Penduduk asli, yang dikenal sebagai I-Kiribati, tinggal di 16 atol Kepulauan Gilbert, termasuk pulau Nui. Meskipun relatif terisolasi, kepulauan ini tidak sepenuhnya terputus dari dunia luar. Navigasi antar pulau yang intens dan perkawinan campur dengan pelaut dari Samoa, Tonga, dan Fiji memperkenalkan elemen budaya Polinesia dan Melanesia, menghasilkan homogenisasi budaya yang signifikan. Bukti arkeologi menunjukkan bahwa sekitar abad ke-14, orang-orang dari Fiji dan Tonga membaur dengan penduduk lokal, membentuk identitas budaya I-Kiribati yang khas.
Penemuan Eropa dan Penamaan
Kepulauan Kiribati pertama kali “ditemukan” oleh orang Eropa pada abad ke-16, tetapi kontak signifikan baru terjadi pada abad ke-18. Pada 1788, penjelajah Inggris Thomas Gilbert dan John Marshall melihat beberapa pulau saat menempuh rute dari Port Jackson (Sydney, Australia) ke Guangzhou, Tiongkok. Nama “Kepulauan Gilbert” diadopsi pada sekitar tahun 1820 oleh laksamana Estonia Adam von Krusenstern dan kapten Prancis Louis Duperrey, yang menerbitkan peta dalam bahasa Prancis yang menyebut kepulauan ini sebagai Îles Gilbert. Nama ini berasal dari pengucapan lokal “Gilberts” dalam bahasa Gilbertese, yang kemudian menjadi “Kiribati” saat kemerdekaan. Pada abad ke-19, kepulauan ini juga dikenal sebagai Kingsmills dalam bahasa Inggris, meskipun nama Kepulauan Gilbert lebih banyak digunakan, termasuk dalam Western Pacific Order in Council tahun 1877.
Masa Kolonial Britania 
Pada 1892, Kepulauan Gilbert menjadi protektorat Britania Raya, dan pada 1916, secara resmi bergabung dengan Kepulauan Ellice (kini Tuvalu) untuk membentuk Koloni Kepulauan Gilbert dan Ellice (GEIC). Selama periode kolonial, Inggris mengeksploitasi sumber daya alam, terutama fosfat di pulau Banaba (juga dikenal sebagai Pulau Ocean). Penambangan fosfat oleh British Phosphate Commission menghabiskan cadangan fosfat Banaba sebelum kemerdekaan, menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan dan memaksa banyak penduduk Banaba dipindahkan ke Pulau Rabi di Fiji setelah Perang Dunia II.
Selama Perang Dunia II, kepulauan ini menjadi medan pertempuran penting. Jepang menduduki Tarawa, Butaritari, dan beberapa pulau di Kepulauan Gilbert pada 1941–1943, membangun pangkalan militer dan lapangan terbang. Pertempuran Tarawa pada November 1943 menjadi salah satu pertempuran paling berdarah dalam sejarah Korps Marinir Amerika Serikat, dengan hampir 6.400 kematian dalam tiga hari. Pertempuran ini membebaskan kepulauan dari pendudukan Jepang, tetapi meninggalkan trauma dan kerusakan infrastruktur. Markas kolonial di Banaba juga dibom dan diduduki Jepang pada 1942, dan baru dibebaskan pada 1945 setelah pembantaian hampir seluruh penduduk Gilbert di pulau tersebut oleh pasukan Jepang.
Proses Menuju Kemerdekaan
Langkah Awal Menuju Otonomi
Setelah Perang Dunia II, tekanan untuk dekolonisasi meningkat di seluruh dunia, termasuk di Pasifik. Pada 1971, Kepulauan Gilbert dan Ellice diberikan pemerintahan sendiri oleh Inggris, sebuah langkah awal menuju kemerdekaan. Namun, perbedaan budaya dan bahasa antara penduduk Kepulauan Gilbert (I-Kiribati, berbahasa Oseanik) dan Kepulauan Ellice (Tuvalu, berbahasa Polinesia) menyebabkan ketegangan. Pada 1975, Kepulauan Ellice mengadakan referendum dan memisahkan diri, mendeklarasikan kemerdekaan sebagai Tuvalu pada 1 Oktober 1978. Pemisahan ini meninggalkan Kepulauan Gilbert, bersama dengan Banaba, Kepulauan Phoenix, dan Kepulauan Line, untuk membentuk entitas baru yang akan menjadi Kiribati.
Kemerdekaan pada 12 Juli 1979 
Pada 12 Juli 1979, Kepulauan Gilbert secara resmi merdeka sebagai Republik Kiribati, dengan upacara penyerahan kekuasaan diadakan di Tarawa, ibu kota negara. Nama “Kiribati” dipilih oleh menteri utama (kemudian presiden) pertama, Ieremia Tabai, dan kabinetnya. Nama ini merupakan transliterasi lokal dari “Gilberts” dalam bahasa Gilbertese, diucapkan sebagai /ˈkɪrɪbæs/ (KIRR-i-bass), karena huruf “ti” dalam bahasa Gilbertese diucapkan sebagai “s”. Pemilihan nama “Kiribati” mencerminkan identitas modern dan inklusif, mengakui tidak hanya Kepulauan Gilbert (atau Tungaru, nama asli lokal), tetapi juga Banaba, Kepulauan Phoenix, dan Kepulauan Line, yang sebagian besar tidak dihuni oleh orang Gilbert hingga pemukiman kembali oleh pemerintah kolonial dan republik.
Pada September 1979, Amerika Serikat menandatangani Perjanjian Persahabatan dengan Kiribati (diratifikasi pada 1983), melepaskan klaim atas sebagian besar Kepulauan Phoenix dan Kepulauan Line (kecuali tiga pulau: Howland, Baker, dan Jarvis), yang kemudian diintegrasikan ke dalam wilayah Kiribati. Perjanjian ini, dikenal sebagai Perjanjian Tarawa, menyelesaikan sengketa wilayah dan memperkuat kedaulatan Kiribati.
Pemerintahan Awal dan Pemimpin Muda
Kemerdekaan Kiribati ditandai dengan terpilihnya Ieremia Tabai sebagai te Beretitenti (presiden) pertama pada usia 29 tahun, menjadikannya salah satu kepala negara termuda di Persemakmuran pada saat itu. Pemerintahannya (1979–1991, dengan beberapa periode) fokus pada pembangunan nasional, meskipun menghadapi tantangan seperti keterbatasan sumber daya alam, infrastuktur yang lemah, dan ketergantungan pada bantuan internasional. Pemilihan pertama pasca-kemerdekaan diadakan pada 1982, diikuti oleh pemilihan baru pada 1983 setelah mosi tidak percaya di parlemen, yang disebut Maneaba ni Maungatabu.
Tantangan Pasca-Kemerdekaan
Kepadatan Penduduk dan Pemukiman Kembali
Setelah kemerdekaan, Kiribati menghadapi masalah kepadatan penduduk, terutama di Tarawa Selatan, yang menjadi rumah bagi lebih dari setengah populasi negara (sekitar 119.000 jiwa pada 2020). Pada 1988, Inggris dan organisasi bantuan mengusulkan pemindahan 4.700 penduduk dari Kepulauan Gilbert ke pulau-pulau yang kurang padat, seperti Kepulauan Phoenix dan Line, untuk mengurangi tekanan pada sumber daya. Program ini merupakan kelanjutan dari skema pemukiman kembali yang dimulai pada masa kolonial, ketika penduduk Gilbert dipindahkan ke pulau-pulau yang sebelumnya tidak dihuni.
Krisis Lingkungan dan Perubahan Iklim 
Kiribati menghadapi ancaman serius dari perubahan iklim, dengan ketinggian pulau-pulau yang rata-rata hanya 1–2 meter di atas permukaan laut. Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1989 memperingatkan bahwa Kiribati berisiko tenggelam pada abad ke-21 jika kenaikan permukaan laut tidak dicegah. Pada 1999, dua atol kecil yang tidak berpenghuni, Tebua Tarawa dan Abanuea, dilaporkan tenggelam akibat kenaikan air laut. Kiribati menjadi salah satu negara pertama yang mengadvokasi isu perubahan iklim secara global, sebagai anggota Aliansi Negara Pulau Kecil (Alliance of Small Island States). Cagar Alam Pulau Phoenix, yang didirikan pada 2008, menjadi salah satu kawasan laut terlindungi terbesar di dunia, menunjukkan komitmen Kiribati terhadap pelestarian lingkungan.
Ekonomi dan Sumber Daya
Ekonomi Kiribati sangat bergantung pada ekspor kopra, perikanan (terutama ikan hias), dan bantuan internasional dari negara seperti Jepang dan Inggris. Penambangan fosfat di Banaba, yang pernah menjadi tulang punggung ekonomi kolonial, berhenti sebelum kemerdekaan karena cadangan habis. Tanah yang tipis dan berkapur di sebagian besar atol menyulitkan pertanian, sehingga penangkapan ikan menjadi sumber utama makanan dan pendapatan. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Kiribati, yang mencakup 3,44 juta km², adalah salah satu yang terbesar di dunia, memberikan potensi ekonomi dari perikanan. Namun, kurangnya tenaga kerja terampil dan infrastruktur yang memadai menghambat pertumbuhan ekonomi.
Isu Banaba
Pulau Banaba, yang kaya akan fosfat, mengalami eksploitasi berat selama masa kolonial, menyebabkan kerusakan lingkungan dan pemindahan penduduk ke Pulau Rabi di Fiji. Setelah kemerdekaan, penduduk Banaba menyatakan keinginan untuk memisahkan diri dan menjadi protektorat Fiji. Pemerintah Kiribati menanggapi dengan memberikan konsesi, seperti mengembalikan tanah pemerintah di Banaba dan memberikan perwakilan di parlemen, untuk mempertahankan integritas wilayah. Meskipun demikian, ketegangan dengan Banaba tetap menjadi isu sensitif dalam politik Kiribati.
Identitas Nasional dan Bendera 
Bendera Kiribati, yang diresmikan pada 12 Juli 1979, dirancang oleh Sir Arthur Grimble, seorang administrator kolonial Inggris, dengan masukan dari penduduk lokal dan peneliti sejarah. Bendera ini memiliki tiga warna utama: merah (melambangkan keberanian), putih, dan biru (melambangkan Samudra Pasifik). Gambar burung fregat kuning di atas matahari terbit melambangkan kekuatan, kebebasan, dan harapan, sedangkan tiga garis bergelombang putih dan biru mewakili tiga kelompok pulau: Gilbert, Phoenix, dan Line. Bendera ini menjadi simbol kebanggaan nasional dan identitas Kiribati sebagai negara merdeka.
Peran Internasional
Setelah kemerdekaan, Kiribati aktif dalam organisasi internasional, menjadi anggota penuh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1999, serta bergabung dengan Komunitas Pasifik Selatan, Persemakmuran, IMF, dan Bank Dunia. Kiribati juga menjalin hubungan bilateral dengan Indonesia pada 2013, ditandai dengan penandatanganan Komunike Bersama di Natadola, Fiji. Pemerintah Kiribati secara konsisten mendukung integritas teritorial Indonesia dan pencalonan di berbagai organisasi internasional.
Kesimpulan
Kemerdekaan Kiribati pada 12 Juli 1979 adalah tonggak sejarah yang menandai kedaulatan sebuah negara kepulauan kecil di tengah Samudra Pasifik. Perjalanan menuju kemerdekaan melibatkan transisi dari kolonialisme Inggris, pemisahan dari Kepulauan Ellice, dan penyelesaian sengketa wilayah dengan Amerika Serikat. Meskipun menghadapi tantangan seperti kepadatan penduduk, keterbatasan sumber daya, dan ancaman perubahan iklim, Kiribati telah menunjukkan ketahanan melalui pemerintahan yang stabil dan advokasi lingkungan global. Nama “Kiribati” tidak hanya mencerminkan warisan Kepulauan Gilbert, tetapi juga semangat inklusivitas yang merangkul Banaba, Kepulauan Phoenix, dan Kepulauan Line. Dengan budaya yang kaya, keindahan alam, dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan, Kiribati terus menegaskan identitasnya sebagai negara berdaulat yang unik di panggung dunia.
BACA JUGA: Detail Planet Mars: Karakteristik, Struktur, dan Misteri Terkecil di Tata Surya
BACA JUGA: Cerita Rakyat Tiongkok: Warisan Budaya, Makna, dan Pengaruhnya
BACA JUGA: Perbedaan Perkembangan Media Sosial Tahun 2020-2025: Analisis Lengkap Secara Mendalam