marylandleather.com, 06 MEI 2025
Penulis: Riyan Wicaksono
Editor: Muhammad Kadafi
Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88
Kemerdekaan Belgia pada tahun 1830 merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah Eropa, yang menandai kelahiran sebuah negara baru dari pecahan Kerajaan Bersatu Belanda (United Kingdom of the Netherlands). Perjuangan ini, yang dikenal sebagai Revolusi Belgia, dipicu oleh ketegangan budaya, agama, bahasa, dan ekonomi antara penduduk Belgia (terutama Flemish dan Walloon) dengan pemerintahan Belanda di bawah Raja William I. Artikel ini menyajikan analisis mendalam, akurat, dan terpercaya tentang sejarah kemerdekaan Belgia, berdasarkan sumber-sumber kredibel seperti Belgium.be, Encyclopaedia Britannica, dan TheCollector. Artikel ini akan membahas latar belakang, pemicu revolusi, jalannya perjuangan, hasilnya, serta dampak jangka panjang dari kemerdekaan Belgia.
Latar Belakang Sejarah
Belgia Sebelum Kemerdekaan
Wilayah yang kini menjadi Belgia memiliki sejarah panjang sebagai wilayah yang dikuasai berbagai kekuatan Eropa. Pada abad ke-3 SM, Julius Caesar menyebut wilayah ini sebagai bagian dari Gaul yang dihuni oleh suku Belgae, dari mana nama “Belgia” berasal. Selama berabad-abad, wilayah ini berada di bawah kekuasaan Romawi, Frank, Spanyol, Austria, dan Prancis. Pada abad ke-16 dan ke-17, Belanda Selatan (cikal bakal Belgia modern) berada di bawah kekuasaan Spanyol, sementara Belanda Utara memperjuangkan kemerdekaan mereka melalui Perang Delapan Puluh Tahun (1568–1648), menghasilkan Republik Belanda yang merdeka.
Pada tahun 1790, terjadi pemberontakan singkat di Belanda Austria yang menghasilkan deklarasi Negara Belgia Bersatu (United Belgian States), tetapi ini berumur pendek karena Austria merebut kembali wilayah tersebut. Setelah kekalahan Napoleon pada tahun 1815 di Pertempuran Waterloo, Kongres Wina menggabungkan Belanda Selatan (Belgia) dan Belanda Utara menjadi Kerajaan Bersatu Belanda di bawah House of Orange-Nassau, dipimpin oleh Raja William I. Penggabungan ini dimaksudkan sebagai negara penyangga yang kuat di utara Prancis untuk mencegah ekspansi Prancis di masa depan. Namun, perbedaan budaya, agama, dan ekonomi antara kedua wilayah menciptakan ketegangan yang menjadi akar Revolusi Belgia.
Ketegangan di Kerajaan Bersatu Belanda
Kerajaan Bersatu Belanda adalah gabungan yang tidak harmonis. Penduduk Belgia, terdiri dari Flemish (berbahasa Belanda) dan Walloon (berbahasa Prancis), mayoritas beragama Katolik Roma, sedangkan Belanda Utara didominasi oleh Protestan (Gereja Reformasi Belanda). Raja William I, seorang Protestan, menerapkan kebijakan yang dianggap memihak Belanda Utara, seperti:
-
Bahasa: William I berusaha menjadikan bahasa Belanda sebagai bahasa resmi, yang menyinggung Walloon berbahasa Prancis dan sebagian Flemish yang lebih terbiasa dengan dialek lokal.
-
Agama: Kebijakan intervensi terhadap Gereja Katolik, termasuk kontrol atas pendidikan agama, memicu kemarahan umat Katolik Belgia.
-
Ekonomi: Wilayah Belgia, yang sedang mengalami industrialisasi cepat karena sumber daya batubara dan besi, merasa kurang mendapat manfaat dari kebijakan perdagangan bebas William I yang lebih menguntungkan pedagang Belanda.
-
Politik: Pemerintahan William I dianggap despotik oleh banyak liberal Belgia, dengan pembatasan kebebasan pers, pendidikan, dan agama, serta representasi politik yang tidak seimbang di mana Belgia memiliki pengaruh lebih kecil meskipun populasinya lebih besar.
Ketegangan ini diperparah oleh krisis ekonomi, termasuk panen buruk pada tahun 1830 dan kemerosotan industri tekstil, yang menyebabkan pengangguran tinggi di kalangan kelas pekerja Belgia.
Pemicu Revolusi Belgia
Revolusi Belgia dimulai pada 25 Agustus 1830, dipicu oleh pertunjukan opera La Muette de Portici di Teater La Monnaie, Brussels. Opera ini, yang mengisahkan pemberontakan rakyat Napoli melawan kekuasaan Spanyol, membangkitkan semangat nasionalis di antara penonton. Setelah pertunjukan, kerumunan penonton, termasuk kaum liberal dan pekerja, memulai kerusuhan di Brussels, menjarah toko-toko dan menyerang simbol-simbol kekuasaan Belanda. Kerusuhan ini dengan cepat menyebar ke kota-kota lain, seperti Liège dan Ghent, didorong oleh semangat Revolusi Juli 1830 di Prancis yang menggulingkan Raja Charles X.
Pada awalnya, pemberontakan ini tidak bertujuan untuk kemerdekaan penuh, tetapi untuk reformasi administratif dan otonomi lebih besar dalam Kerajaan Bersatu Belanda. Namun, sikap keras kepala William I dan intervensi militer Belanda mengubah tuntutan ini menjadi gerakan separatisme.
Jalannya Revolusi
Pemberontakan di Brussels dan Pembentukan Pemerintahan Sementara
Pada akhir Agustus 1830, warga Brussels membentuk milisi sipil untuk menjaga ketertiban dan melindungi kota dari kerusuhan lebih lanjut. Pada 1 September, para pemimpin milisi meminta Putra Mahkota William (calon William II) untuk menengahi dengan ayahnya, Raja William I, untuk pemisahan administratif antara Belanda Utara dan Selatan. Namun, William I menolak negosiasi dan mengirim pasukan Belanda di bawah pimpinan Pangeran Frederik, putra keduanya, untuk menduduki Brussels pada 23 September 1830.
Pasukan Belanda menghadapi perlawanan sengit dari relawan Belgia, yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, termasuk pekerja, borjuis, dan intelektual. Pertempuran berlangsung selama tiga hari di jalan-jalan Brussels, dengan barikade didirikan oleh warga. Pada malam 26–27 September, pasukan Belanda dipaksa mundur setelah pertempuran sengit, dengan korban sekitar 467 kematian dan 1.300 luka di pihak Belgia. Kemenangan ini memicu pemberontakan di seluruh Belgia, termasuk di kota-kota seperti Mons, Tournai, dan Ath, yang menyatakan bergabung dengan pemerintahan Brussels.
Pada 27 September 1830, Komite Sementara dibentuk di Brussels, yang kemudian bertransformasi menjadi Pemerintahan Sementara pada 4 Oktober 1830, secara resmi mendeklarasikan kemerdekaan Belgia. Pemerintahan ini, dipimpin oleh tokoh seperti Charles Rogier, segera menyerukan pemilihan Kongres Nasional untuk menyusun konstitusi.
Reaksi Internasional dan Konferensi London
Revolusi Belgia menarik perhatian kekuatan besar Eropa, yang berkumpul di Konferensi London pada 4 November 1830 untuk membahas nasib Belgia. Kekuatan besar (Inggris, Prancis, Austria, Prusia, dan Rusia) awalnya terbagi dalam menyikapi kemerdekaan Belgia. Inggris dan Prancis, yang baru saja mengalami revolusi liberal (Revolusi Juli di Prancis), cenderung mendukung kemerdekaan Belgia, sementara Rusia, Prusia, dan Austria mendukung Belanda karena takut akan efek domino revolusi di wilayah mereka sendiri. Namun, tidak ada kekuatan besar yang mengirim pasukan untuk membantu Belanda, sebagian karena mereka sibuk dengan pemberontakan internal, seperti Pemberontakan November di Polandia (Rusia) dan masalah utang perang (Prusia).
Pada 20 Desember 1830, Konferensi London mengakui prinsip kemerdekaan Belgia, tetapi menetapkan bahwa Belgia harus menjadi negara netral dan bahwa Luksemburg akan tetap terpisah di bawah William I. Pada 20 dan 27 Januari 1831, konferensi ini menghasilkan dua protokol yang menentukan batas-batas Belgia dan pembagian utang nasional Kerajaan Bersatu Belanda.
Pemilihan Raja dan Konstitusi
Kongres Nasional Belgia, yang terdiri dari 30.000 pemilih laki-laki yang membayar pajak tertentu atau memiliki kualifikasi khusus, terpilih pada 3 November 1830. Pada 10 November, Kongres mendeklarasikan House of Orange digulingkan dan memilih monarki konstitusional sebagai bentuk pemerintahan, bukan republik, untuk menenangkan kekuatan Eropa yang konservatif. Pada 7 Februari 1831, Kongres meratifikasi konstitusi baru yang dianggap sangat progresif untuk zamannya, menjamin kebebasan pers, agama, dan pendidikan, serta memberikan kekuasaan besar kepada parlemen yang dipilih oleh pemilik properti.
Memilih raja untuk Belgia adalah tantangan tersendiri. Awalnya, putra kedua Raja Louis Philippe dari Prancis, Duc de Nemours, terpilih pada Februari 1831, tetapi Prancis menolak untuk menghindari ketegangan dengan kekuatan lain. Akhirnya, Pangeran Leopold dari Saxe-Coburg, yang memiliki hubungan dengan keluarga kerajaan Inggris dan menikahi putri Raja Prancis, dipilih sebagai kandidat yang dapat diterima oleh Inggris dan Prancis. Pada 21 Juli 1831, Leopold I naik takhta sebagai Raja pertama Belgia, berjanji untuk mendukung konstitusi liberal. Hari ini diperingati sebagai Hari Nasional Belgia.
Kampanye Sepuluh Hari dan Intervensi Prancis
Raja William I tidak menerima kemerdekaan Belgia, karena pemisahan ini membagi kerajaannya dan memengaruhi keuangan kerajaan. Pada 2 Agustus 1831, ia meluncurkan “Kampanye Sepuluh Hari,” di mana 50.000 pasukan Belanda menyerang Belgia. Pasukan Belgia, yang hanya berjumlah sekitar 25.000 dan kurang terlatih, kalah di Pertempuran Hasselt dan Leuven. Namun, pada 9 Agustus, 70.000 pasukan Prancis di bawah pimpinan Marshal Étienne Maurice Gérard memasuki Belgia atas permintaan Raja Leopold I, didukung oleh Inggris. Untuk menghindari perang dengan Prancis, Belanda menyetujui gencatan senjata dan menarik pasukan mereka, meskipun tetap menguasai benteng Antwerpen hingga 1832.
Pada akhir November 1832, armada Inggris-Prancis memblokade Sungai Scheldt, dan pasukan Prancis mengepung benteng Antwerpen. Setelah 24 hari pengepungan, pasukan Belanda menyerah pada 23 Desember 1832. Gencatan senjata resmi antara Belgia dan Belanda ditandatangani pada 21 Mei 1833, tetapi pengakuan resmi Belanda atas kemerdekaan Belgia baru terjadi pada 19 April 1839 melalui Perjanjian London.
Hasil dan Dampak Kemerdekaan
Perjanjian London 1839
Perjanjian London, yang ditandatangani pada 19 April 1839 oleh kekuatan Eropa (termasuk Belanda), secara resmi mengakui Belgia sebagai negara merdeka dan netral, mencakup provinsi Flandria Barat, Flandria Timur, Brabant, Antwerpen, Hainaut, Namur, Liège, serta setengah dari Luksemburg dan Limburg. Belanda mempertahankan bagian timur Limburg, termasuk Maastricht, karena benteng strategisnya. Netralitas Belgia dijamin oleh kekuatan Eropa, tetapi jaminan ini dilanggar oleh Jerman pada tahun 1914 selama Perang Dunia I, yang memicu deklarasi perang Inggris terhadap Jerman.
Dampak Politik dan Sosial
Kemerdekaan Belgia menciptakan negara monarki konstitusional dengan konstitusi yang progresif, yang menjadi model bagi negara-negara lain di Eropa. Namun, perbedaan bahasa dan budaya antara Flemish dan Walloon terus menjadi tantangan. Pada tahun 1846, kelas menengah anti-klerikal mendirikan Partai Liberal nasional, sementara Partai Katolik konservatif muncul sebagai oposisi, menandai polarisasi ideologis dalam politik Belgia modern.
Revolusi Belgia juga memengaruhi dinamika Eropa. Kemerdekaan Belgia adalah pelanggaran pertama terhadap penyelesaian Kongres Wina 1815, menunjukkan bahwa semangat nasionalisme dan liberalisme dapat mengubah peta Eropa. Belgia memainkan peran penting dalam pembentukan Uni Ekonomi Belgia-Luksemburg, Benelux, dan menjadi salah satu pendiri Komunitas Ekonomi Eropa (sekarang Uni Eropa) pada tahun 1957.
Dampak Ekonomi
Belgia mengalami industrialisasi cepat setelah kemerdekaan, didorong oleh cadangan batubara dan bijih besi di Wallonia. Menurut GeeksforGeeks, pendapatan per kapita Belgia meningkat dari $486 pada tahun 1850 menjadi $4.874 pada tahun 2000, sebagian besar karena industrialisasi selama Revolusi Industri. Pemerintah Liberal di bawah Walthère Frère-Orban memperkuat infrastruktur ekonomi dengan mendirikan Bank Nasional Belgia (1850), Kredit Komunal (1860), dan Bank Tabungan Umum (1865).
Kolonialisme dan Leopold II
Setelah kemerdekaan, Raja Leopold I dan Leopold II berupaya memperkuat ekonomi Belgia melalui ekspedisi kolonial. Leopold II mendanai ekspedisi Henry Stanley ke Cekungan Kongo, mendirikan Negara Bebas Kongo pada tahun 1885 setelah Konferensi Berlin. Awalnya, Kongo dikuasai secara pribadi oleh Leopold II, tetapi karena kekejaman dalam pengelolaannya, wilayah ini diserahkan ke pemerintah Belgia pada tahun 1908, menjadi Kongo Belgia hingga merdeka pada tahun 1960.
Tantangan dan Warisan
Meskipun merdeka, Belgia menghadapi tantangan internal, terutama ketegangan antara komunitas Flemish dan Walloon. Gerakan Orangisme, yang menginginkan reunifikasi dengan Belanda, aktif di beberapa kota seperti Liège dan Brussels, tetapi tidak mendapat dukungan luas. Selain itu, netralitas Belgia diuji selama Perang Dunia I dan II, ketika Jerman menginvasi pada tahun 1914 dan 1940, menunjukkan kerentanan geopolitiknya.
Warisan kemerdekaan Belgia tetap relevan hingga kini. Belgia telah menjadi pusat diplomasi internasional, menjadi tuan rumah markas NATO dan Uni Eropa. Transformasi Belgia menjadi negara federal setelah empat reformasi negara menunjukkan upaya untuk mengakomodasi keragaman budaya dan bahasa. Kampanye merek internasional Belgia, “Embracing Openness,” mencerminkan keterbukaan negara ini terhadap inovasi dan keragaman.
Kesimpulan
Kemerdekaan Belgia pada tahun 1830 adalah hasil dari perjuangan melawan pemerintahan despotik William I, didorong oleh perbedaan agama, bahasa, dan ekonomi, serta semangat nasionalisme yang terinspirasi dari Revolusi Juli di Prancis. Revolusi Belgia tidak hanya mengubah peta Eropa tetapi juga menunjukkan kekuatan rakyat dalam menentukan nasib mereka sendiri. Dengan konstitusi progresif, monarki konstitusional di bawah Leopold I, dan pengakuan internasional melalui Perjanjian London 1839, Belgia muncul sebagai negara merdeka yang netral. Meskipun menghadapi tantangan internal dan eksternal, Belgia telah berkembang menjadi negara modern yang berpengaruh di Eropa. Untuk informasi lebih lanjut, sumber seperti Encyclopaedia Britannica, Belgium.be, dan TheCollector dapat memberikan wawasan tambahan.
BACA JUGA: Seni dan Tradisi Negara Palau: Warisan Budaya Mikronesia yang Kaya
BACA JUGA: Letak Geografis dan Fisik Alami Negara Seychelles
BACA JUGA: Kampanye Publik: Strategi, Implementasi, dan Dampak dalam Mendorong Perubahan Sosial