marylandleather.com, 02 MEI 2025
Penulis: Riyan Wicaksono
Editor: Muhammad Kadafi
Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88
Lesotho, secara resmi dikenal sebagai Kerajaan Lesotho, adalah sebuah negara enklave di Afrika Selatan yang sepenuhnya dikelilingi oleh Republik Afrika Selatan. Dengan luas wilayah sekitar 30.355 km² dan populasi sekitar dua juta jiwa, Lesotho memiliki sejarah yang kaya dan penuh perjuangan menuju kemerdekaan. Sebelum menjadi negara merdeka pada 4 Oktober 1966, Lesotho dikenal sebagai Basutoland, sebuah wilayah di bawah kekuasaan kolonial Inggris. Artikel ini menyajikan sejarah kemerdekaan Lesotho secara mendetail, akurat, dan terpercaya, berdasarkan informasi dari sumber-sumber seperti Wikipedia, WorldAtlas, Britannica, dan laporan resmi pemerintah Lesotho (www.gov.ls), serta referensi lain seperti Pinhome dan IDN Times. Artikel ini mencakup latar belakang sejarah, perjuangan melawan kolonialisme, proses kemerdekaan, dan tantangan pasca-kemerdekaan.
1. Latar Belakang Sejarah Lesotho
1.1. Pembentukan Bangsa Basotho
Sejarah Lesotho tidak dapat dipisahkan dari peran Raja Moshoeshoe I, pendiri bangsa Basotho. Pada awal abad ke-19, wilayah Afrika Selatan mengalami gejolak besar akibat Mfecane, sebuah periode peperangan dan migrasi massal yang dipicu oleh ekspansi Kerajaan Zulu di bawah Shaka Zulu. Konflik ini menyebabkan kekacauan di kalangan suku-suku di wilayah tersebut, termasuk suku-suku Bantu seperti Sotho.
Pada sekitar tahun 1824, Moshoeshoe I, seorang pemimpin suku Sotho yang visioner, berhasil menyatukan berbagai kelompok suku yang tercerai-berai akibat Mfecane. Ia mendirikan pemukiman di Thaba Bosiu, sebuah dataran tinggi yang strategis dan sulit ditembus musuh, yang menjadi pusat kekuatan politik dan militer Basotho. Moshoeshoe dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana, menggunakan diplomasi dan strategi militer untuk melindungi rakyatnya dari ancaman suku-suku lain dan penjajah Eropa.
1.2. Kedatangan Penjajah Eropa
Pada pertengahan abad ke-19, wilayah Basotho mulai mendapat tekanan dari dua kekuatan kolonial: Boer (penutur bahasa Belanda dari Negara Bebas Oranye) dan Inggris. Boer, yang bermigrasi ke pedalaman Afrika Selatan selama Great Trek, mengincar tanah subur Basotho untuk pertanian. Hal ini memicu serangkaian konflik yang dikenal sebagai Perang Negara Bebas-Basotho (1856–1868). Meskipun Basotho di bawah Moshoeshoe I berhasil memenangkan beberapa pertempuran, tekanan dari Boer semakin meningkat, mengancam keberadaan bangsa Basotho.
Menghadapi ancaman aneksasi oleh Boer, Moshoeshoe I mengambil langkah diplomatik dengan meminta perlindungan dari Inggris. Pada tahun 1868, melalui surat kepada Ratu Victoria, Moshoeshoe memohon agar wilayahnya dijadikan protektorat Inggris untuk melindungi Basotho dari ekspansi Boer. Permintaan ini disetujui, dan pada 12 Maret 1868, Basutoland resmi menjadi protektorat Inggris melalui Perjanjian Aliwal Utara. Langkah ini menyelamatkan Basotho dari ancaman Boer, tetapi sekaligus menempatkan mereka di bawah pengaruh kolonial Inggris.
2. Periode Kolonial Inggris (1868–1966)
2.1. Basutoland sebagai Protektorat Inggris
Sebagai protektorat, Basutoland memiliki tingkat otonomi tertentu di bawah kepemimpinan para kepala suku Basotho, dengan Inggris bertanggung jawab atas urusan luar negeri dan pertahanan. Namun, pada tahun 1871, Inggris mengalihkan administrasi Basutoland ke Koloni Tanjung (Cape Colony), sebuah keputusan yang tidak disukai oleh rakyat Basotho. Pemerintahan Koloni Tanjung berusaha menerapkan kebijakan yang membatasi otonomi Basotho, termasuk upaya melucuti senjata mereka, yang memicu Perang Senjata Basuto (1880–1881). Perang ini menunjukkan semangat perlawanan Basotho terhadap kontrol kolonial.
Karena resistensi yang kuat dari Basotho, Inggris akhirnya mengembalikan status Basutoland sebagai koloni mahkota langsung pada tahun 1884, terpisah dari Koloni Tanjung. Status ini memberikan Basutoland otonomi yang lebih besar dibandingkan wilayah lain di bawah kekuasaan Inggris di Afrika Selatan. Pemerintahan kolonial Inggris di Basutoland relatif ringan, dengan fokus pada pajak dan pengaturan perdagangan, sementara struktur tradisional Basotho tetap dipertahankan.
2.2. Munculnya Nasionalisme Basotho 
Pada awal abad ke-20, kesadaran politik di kalangan Basotho mulai berkembang. Pengaruh pendidikan misionaris Kristen, terutama dari Gereja Katolik dan Protestan, menghasilkan kelompok elit terdidik yang mulai mempertanyakan kekuasaan kolonial. Organisasi seperti Basutoland Progressive Association (1907) dan Lekhotla la Bafo (1919) menjadi wadah bagi aspirasi politik Basotho, menuntut reformasi dan representasi yang lebih besar dalam pemerintahan.
Pada tahun 1952, Basotho National Party (BNP) didirikan oleh Leabua Jonathan, yang mengadvokasi kemerdekaan secara bertahap dengan tetap menjaga hubungan baik dengan Inggris. Di sisi lain, Basotho Congress Party (BCP), yang didirikan pada 1959 oleh Ntsu Mokhehle, mengambil pendekatan yang lebih radikal, menuntut kemerdekaan segera dan menolak pengaruh kolonial. Kedua partai ini menjadi kekuatan utama dalam perjuangan menuju kemerdekaan.
2.3. Langkah Menuju Kemerdekaan 
Pada tahun 1960, Inggris mulai mempersiapkan Basutoland untuk kemerdekaan sebagai bagian dari gelombang dekolonisasi di Afrika. Sebuah konstitusi sementara diperkenalkan pada tahun 1960, yang memungkinkan pembentukan Dewan Legislatif Basutoland dengan anggota terpilih. Pada tahun 1965, Inggris mengesahkan konstitusi baru yang menetapkan Basutoland sebagai kerajaan konstitusional dengan Moshoeshoe II sebagai raja dan sebuah parlemen yang terdiri dari Majelis Nasional (dipilih) dan Senat (ditunjuk). Konstitusi ini menjadi dasar bagi kemerdekaan penuh Lesotho.
Pemilihan umum pertama diadakan pada tahun 1965, di mana BNP memenangkan mayoritas kursi di Majelis Nasional, menjadikan Leabua Jonathan sebagai perdana menteri pertama. Kemenangan BNP, yang didukung oleh struktur tradisional dan hubungan baik dengan Inggris, membuka jalan bagi negosiasi kemerdekaan.
3. Proses Kemerdekaan Lesotho 
3.1. Deklarasi Kemerdekaan
Pada 4 Oktober 1966, Basutoland resmi mendeklarasikan kemerdekaannya dari Inggris dan berganti nama menjadi Kerajaan Lesotho. Tanggal ini menandai berakhirnya lebih dari satu abad kekuasaan kolonial Inggris. Kemerdekaan Lesotho dirayakan dengan upacara di Maseru, ibu kota negara, dihadiri oleh perwakilan Inggris dan pemimpin Basotho. Moshoeshoe II dinobatkan sebagai raja pertama Lesotho, sementara Leabua Jonathan menjabat sebagai perdana menteri.
Bendera nasional Lesotho pertama kali dikibarkan pada hari kemerdekaan, menampilkan topi Basotho putih (mokorotlo) dengan warna biru (melambangkan langit dan hujan), putih (perdamaian), hijau (tanah), dan merah (iman). Bendera ini mencerminkan identitas budaya Basotho dan semangat damai negara yang baru merdeka.
3.2. Struktur Pemerintahan
Lesotho merdeka sebagai monarki konstitusional parlementer, dengan raja sebagai kepala negara yang bersifat seremonial dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan dengan otoritas eksekutif. Sistem ini mirip dengan model Persemakmuran Inggris, dengan Majelis Nasional sebagai badan legislatif utama dan Senat yang terdiri dari 22 kepala suku turun-temurun serta 11 anggota yang ditunjuk oleh raja atas saran perdana menteri. Konstitusi Lesotho menjamin kebebasan sipil, termasuk kebebasan berbicara, pers, dan beragama, serta mendirikan sistem peradilan independen.
Lesotho menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 17 Oktober 1966, Persemakmuran Bangsa-Bangsa, Uni Afrika, dan Komunitas Pembangunan Afrika Selatan (SADC), menegaskan statusnya sebagai negara berdaulat di panggung internasional.
4. Tantangan Pasca-Kemerdekaan
4.1. Krisis Politik Awal
Meskipun kemerdekaan disambut dengan optimisme, Lesotho segera menghadapi tantangan politik. Pada pemilu 1970, BCP memenangkan mayoritas kursi, tetapi Leabua Jonathan dan BNP menolak menyerahkan kekuasaan. Jonathan membekukan konstitusi, menyatakan keadaan darurat, dan memerintahkan penahanan pemimpin BCP, termasuk Ntsu Mokhehle. Tindakan ini memicu ketegangan politik dan memulai periode ketidakstabilan.
BCP, yang kehilangan kekuasaan, membentuk Lesotho Liberation Army (LLA) dan melancarkan pemberontakan bersenjata dengan dukungan dari beberapa pihak di luar negeri. Pada tahun 1981, serangan terhadap pendukung BCP, termasuk pembunuhan editor surat kabar Leselinyana la Lesotho, memperburuk situasi.
4.2. Kudeta Militer dan Pergolakan Kekuasaan
Pada tahun 1986, ketegangan politik memuncak dengan kudeta militer yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Justin Metsing Lekhanya, yang menggulingkan Leabua Jonathan. Kudeta ini memberikan kekuasaan eksekutif sementara kepada Raja Moshoeshoe II, tetapi pada tahun 1987, raja dipaksa ke pengasingan setelah berselisih dengan junta militer mengenai konstitusi. Lekhanya sendiri digulingkan pada 1991 oleh Mayor Jenderal Elias Phisoana Ramaema, yang kemudian mengembalikan pemerintahan sipil pada tahun 1993 dengan kemenangan BCP dalam pemilu.
Moshoeshoe II kembali dari pengasingan pada 1992 sebagai warga biasa, tetapi pada tahun 1995, ia dipulihkan sebagai raja. Namun, ia meninggal dalam kecelakaan mobil pada tahun 1996, dan digantikan oleh putranya, Letsie III, yang tetap menjadi raja hingga saat ini dengan peran seremonial.
4.3. Ketergantungan pada Afrika Selatan
Sebagai negara enklave, Lesotho sangat bergantung pada Afrika Selatan untuk perdagangan, tenaga kerja migran, dan pasokan barang. Hubungan dengan Afrika Selatan, yang saat itu berada di bawah rezim apartheid, sering kali tegang. Lesotho menolak apartheid dan menjadi tempat perlindungan bagi aktivis anti-apartheid, yang memicu serangan militer dari Afrika Selatan pada tahun 1982. Lesotho Highlands Water Project, yang dimulai pada 1986, menjadi simbol kerja sama ekonomi, dengan Lesotho memasok air ke Afrika Selatan sebagai sumber pendapatan utama.
5. Perkembangan Modern dan Warisan Kemerdekaan
5.1. Stabilitas Politik Terkini
Sejak pemulihan demokrasi pada tahun 1993, Lesotho telah mengalami pasang surut dalam stabilitas politik. Pemilu 2012 menghasilkan pemerintahan koalisi pertama di bawah Thomas Thabane dari All Basotho Convention (ABC). Pada tahun 2022, Sam Matekane, seorang pengusaha sukses, terpilih sebagai perdana menteri, membawa harapan baru untuk reformasi ekonomi dan politik. Meskipun tantangan seperti korupsi dan kemiskinan tetap ada, Lesotho terus memperkuat institusi demokratisnya.
5.2. Identitas Budaya Basotho
Kemerdekaan Lesotho memperkuat identitas budaya Basotho, yang tercermin dalam bahasa resmi Sesotho dan Inggris, serta simbol nasional seperti topi mokorotlo. Mayoritas penduduk (99,7%) adalah etnis Basotho, menjadikan Lesotho salah satu negara paling homogen secara etnis di dunia. Agama Kristen, terutama Protestan (47,8%) dan Katolik Roma (39,3%), mendominasi, dengan tradisi lokal yang masih dihormati.
5.3. Tantangan Sosial-Ekonomi
Lesotho menghadapi tantangan sosial-ekonomi yang signifikan pasca-kemerdekaan. Sekitar 40% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan internasional ($1,25/hari), dan negara ini memiliki tingkat prevalensi HIV/AIDS tertinggi kedua di dunia (23,6% pada 2018). Ekonomi Lesotho bergantung pada pertanian, tekstil, pertambangan berlian, dan pengiriman uang dari pekerja migran di Afrika Selatan. Meskipun demikian, proyek seperti penemuan berlian “The Lesotho Legend” (910 karat, terjual seharga $40 juta pada 2018) menunjukkan potensi ekonomi negara ini.
6. Makna Kemerdekaan Lesotho
Kemerdekaan Lesotho pada 4 Oktober 1966 adalah puncak dari perjuangan panjang melawan ancaman kolonial dan ekspansi tetangga. Peran Moshoeshoe I dalam menyatukan bangsa Basotho dan diplomasinya dengan Inggris menjadi fondasi kedaulatan Lesotho. Meskipun menghadapi tantangan politik dan ekonomi pasca-kemerdekaan, Lesotho tetap mempertahankan identitasnya sebagai “Kerajaan Langit,” dengan lanskap pegunungan yang menakjubkan dan budaya yang kaya.
Lesotho adalah contoh unik dari negara kecil yang berhasil mempertahankan kedaulatan di tengah tekanan geopolitik. Sebagai anggota aktif PBB, Persemakmuran, dan SADC, Lesotho terus berupaya membangun masa depan yang lebih sejahtera sambil melestarikan warisan budaya dan sejarahnya. Bagi dunia, kisah kemerdekaan Lesotho adalah pengingat akan kekuatan ketahanan dan identitas nasional dalam menghadapi tantangan global.
BACA JUGA: Seni dan Tradisi Negara Palau: Warisan Budaya Mikronesia yang Kaya
BACA JUGA: Letak Geografis dan Fisik Alami Negara Seychelles
BACA JUGA: Kampanye Publik: Strategi, Implementasi, dan Dampak dalam Mendorong Perubahan Sosial