marylandleather.com,25 MEI 2025
Penulis: Riyan Wicaksono
Editor: Muhammad Kadafi
Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88
Perserikatan Komoro, atau Uni Komoro (bahasa Komoro: Udzima wa Komori, bahasa Arab: الاتحاد القمري, bahasa Prancis: Union des Comores), adalah negara kepulauan di Samudra Hindia, terletak di ujung utara Selat Mozambik antara Madagaskar dan Mozambik. Negara ini terdiri dari tiga pulau utama—Grande Comore (Ngazidja), Anjouan (Nzwani), dan Mohéli (Mwali)—serta beberapa pulau kecil, dengan ibu kota Moroni di Grande Comore. Menurut Britannica, Komoro memiliki luas wilayah 1.659 km² (tidak termasuk Mayotte) dan populasi sekitar 850.886 jiwa pada 2019. Sebagai anggota Liga Arab, Uni Afrika, dan Organisation internationale de la Francophonie, Komoro memiliki identitas unik sebagai satu-satunya negara Arab yang sepenuhnya berada di belahan bumi selatan. Nama “Komoro” berasal dari kata Arab qamar (قمر), yang berarti “bulan”, meskipun beberapa sumber menyebutkan asal usulnya terkait dengan nama Arab kuno untuk Madagaskar, Q(u)mr (Wikipedia).
Sejarah kemerdekaan Komoro pada 6 Juli 1975 merupakan puncak dari perjuangan panjang melawan kolonialisme Prancis, namun juga awal dari periode ketidakstabilan politik dan ekonomi. Proses kemerdekaan ditandai oleh referendum 1974, deklarasi sepihak oleh parlemen, dan sengketa berkelanjutan atas pulau Mayotte, yang memilih tetap menjadi wilayah Prancis. Artikel ini mengulas secara mendalam sejarah kemerdekaan Komoro, mulai dari latar belakang kolonial, perjuangan menuju kemerdekaan, tantangan pasca-kemerdekaan, hingga dampaknya terhadap identitas nasional dan hubungan internasional.
Latar Belakang Kolonial dan Awal Penyemaian Kemerdekaan
Penduduk Awal dan Pengaruh Budaya
Menurut Wikipedia dan Liputan6.com, Kepulauan Komoro pertama kali didiami sekitar abad ke-6 Masehi oleh pelaut, nelayan, dan pedagang dari Afrika dan Austronesia. Penduduk awal ini, kemungkinan dari kelompok Bantu dan Austronesia/Malagasi, mendirikan komunitas kecil. Pada abad ke-8 hingga ke-10 (fase Dembeni), perdagangan dengan pantai Swahili, Madagaskar, dan pedagang Arab dari Teluk Persia mulai berkembang, membawa Islam ke kepulauan ini. Menurut en.wikipedia.org, legenda lokal menyebutkan bahwa pada 632 Masehi, seorang utusan bernama Mtswa-Mwindza dikirim ke Mekkah setelah mendengar tentang Islam, dan ia membangun masjid di Ntsaweni, Grande Comore, menandai awal konversi penduduk ke Islam Sunni, yang kini menjadi agama mayoritas dan resmi negara.
Pada abad ke-11 hingga ke-15, Komoro menjadi pusat perdagangan penting di pantai Swahili, menghubungkan Afrika Timur, Timur Tengah, dan Asia. Pedagang Arab, khususnya dari Hadhramaut, memperkuat pengaruh Islam dan budaya Arab, sementara kesultanan lokal, seperti Kesultanan Anjouan, menguasai pulau-pulau (en.wikipedia.org). Menurut RE Tawon, budaya Komoro merupakan perpaduan unik antara unsur Bantu, Arab, Persia, dan Malagasi, yang terlihat dalam bahasa Shikomoro (perpaduan Swahili dan Arab), arsitektur masjid, dan tradisi maritim.
Kedatangan Eropa dan Kolonialisme Prancis 
Eropa mulai menunjukkan minat pada Komoro pada abad ke-16, dengan pelaut Portugis dan Belanda singgah untuk perdagangan. Namun, Prancis yang akhirnya mendominasi. Menurut Liputan6.com, Prancis secara resmi mengakui kepulauan Komoro sebagai wilayah kekuasaannya pada 1886–1887, meskipun pengaruh kolonial dimulai sejak 1841 ketika Prancis mendirikan pemerintahan di Mayotte. Pada 1947, Komoro menjadi wilayah seberang laut Prancis (outre-mer), dengan otonomi terbatas (Amazine.co). Selama periode ini, Prancis mengelola ekonomi berbasis perkebunan (seperti vanila dan cengkeh) dan memperkenalkan administrasi kolonial, tetapi minim melakukan modernisasi infrastruktur (RE Tawon).
Penduduk Komoro mulai merasakan ketidakpuasan terhadap kolonialisme Prancis, terutama karena kurangnya investasi dalam pendidikan dan pembangunan. Menurut RE Tawon, sentimen pro-kemerdekaan mulai muncul pada 1960-an, terinspirasi oleh gelombang dekolonisasi di Afrika, seperti kemerdekaan Tanganyika (1961) dan pembentukan Tanzania (1964) setelah revolusi Zanzibar. Pada 1962, perantau Komoro di Tanzania mendirikan organisasi Molinaco untuk mengkampanyekan kemerdekaan. Demonstrasi pelajar pada 1968 dan pembakaran gedung parlemen pada 1973 menunjukkan eskalasi perlawanan (RE Tawon).
Proses Menuju Kemerdekaan
Referendum 1974 
Pada 1973, Prancis menjanjikan kemerdekaan untuk Komoro pada 1978 sebagai bagian dari negosiasi dengan elit lokal (Amazine.co). Namun, tekanan dari gerakan pro-kemerdekaan mendorong Prancis untuk mengadakan referendum pada 22 Desember 1974. Menurut id.wikipedia.org, referendum ini bertujuan menentukan apakah kepulauan Komoro ingin merdeka atau tetap menjadi bagian dari Prancis. Hasilnya menunjukkan perpecahan:
-
Grande Comore, Anjouan, dan Mohéli: Mayoritas mendukung kemerdekaan, dengan persentase suara pro-kemerdekaan yang signifikan.
-
Mayotte: Mayoritas warga (sekitar 63,8% pada 1974 dan 99,4% pada referendum lanjutan 1976) memilih tetap menjadi wilayah Prancis, karena khawatir akan ketidakstabilan ekonomi dan politik jika bergabung dengan Komoro (en.wikipedia.org).
Perbedaan ini sebagian besar bersifat politis dan ekonomis, bukan budaya, karena penduduk Mayotte memiliki kesamaan budaya dan agama (Islam Sunni) dengan pulau lain (id.wikipedia.org). Mayotte, yang lebih kecil dan kurang berkembang, bergantung pada dukungan ekonomi Prancis, yang menjanjikan kesejahteraan lebih besar dibandingkan dengan kemerdekaan bersama Komoro.
Deklarasi Kemerdekaan 1975 
Tanpa menunggu jadwal resmi 1978, parlemen Komoro, yang didominasi oleh pendukung kemerdekaan, mengambil langkah berani. Pada 6 Juli 1975, dipimpin oleh Ahmed Abdallah, parlemen mengeluarkan resolusi sepihak untuk memproklamasikan kemerdekaan (id.wikipedia.org). Ahmed Abdallah, seorang politisi berpengaruh dari Anjouan, menjadi presiden pertama Perserikatan Komoro, yang dideklarasikan sebagai daulat al qamar (bahasa Arab: دولة القمر, “Negara Bulan”) atau État comorien (bahasa Prancis). Proklamasi ini diumumkan di Moroni, menandai berakhirnya lebih dari seabad penjajahan Prancis (@ProfPLOLumumba).
Pada November 1975, Komoro diterima sebagai anggota ke-143 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang mengakui negara baru ini sebagai entitas yang mencakup seluruh kepulauan, termasuk Mayotte (id.wikipedia.org). Namun, Prancis menolak mengakui kedaulatan Komoro atas Mayotte, mempertahankan pulau itu sebagai wilayah seberang laut (outre-mer). Prancis juga menarik dukungan ekonomi dari Komoro, memicu kekacauan ekonomi dan politik (id.wikipedia.org).
Tantangan Pasca-Kemerdekaan
Ketidakstabilan Politik dan Kudeta
Kemerdekaan Komoro diikuti oleh periode ketidakstabilan yang parah. Menurut id.wikipedia.org, setidaknya 20 kudeta atau percobaan kudeta terjadi sejak 1975, menjadikan Komoro salah satu negara paling tidak stabil di Afrika. Beberapa peristiwa kunci:
-
Agustus 1975: Hanya sebulan setelah kemerdekaan, Ahmed Abdallah digulingkan melalui kudeta yang dipimpin oleh Ali Soilih, seorang politisi sosialis dan pan-Africanis (@copaalemdacopa). Soilih menerapkan kebijakan sosialis, termasuk reformasi agraria dan sekulerisasi, yang memicu resistensi dari elit konservatif dan penduduk yang mayoritas Muslim (en.wikipedia.org).
-
1978: Soilih digulingkan melalui kudeta yang didukung Prancis, dipimpin oleh tentara bayaran Bob Denard. Ahmed Abdallah kembali berkuasa, tetapi pemerintahannya bergantung pada pengaruh Prancis (@CyrilCastelliti). Abdallah kemudian tewas dalam kudeta lain pada 1989.
-
1997–1998: Anjouan dan Mohéli berusaha memisahkan diri, menuntut otonomi lebih besar atau bahkan reunifikasi dengan Prancis, tetapi pemberontakan ini ditekan melalui intervensi Uni Afrika (RE Tawon).
-
2008: Komoro dianggap sebagai “demokrasi elektoral” oleh Freedom House, meskipun ketidakstabilan politik terus berlanjut (ms.wikipedia.org).
Ketidakstabilan ini diperburuk oleh struktur federal yang memberikan otonomi besar kepada masing-masing pulau, sering kali memicu konflik antar-pulau dan dengan pemerintah pusat (Amazine.co). Menurut Ilmupengetahuanumum.com, sistem pemerintahan republik presidensial federal, dengan presiden yang dipilih setiap lima tahun dan parlemen 33 kursi, masih menghadapi tantangan dalam menjaga kohesi nasional.
Krisis Ekonomi 
Penarikan dukungan ekonomi Prancis pasca-kemerdekaan menyebabkan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Menurut ms.wikipedia.org, Komoro adalah salah satu negara termiskin di dunia, dengan pendapatan per kapita sekitar $700 pada 2007 dan 50% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan internasional ($1,25 per hari). Ekonomi Komoro bergantung pada pertanian subsisten (vanila, cengkeh, dan ylang-ylang), perikanan, dan bantuan asing (Ilmupengetahuanumum.com). Infrastruktur transportasi yang buruk, tingkat pendidikan rendah, dan sumber daya alam terbatas menghambat pembangunan (ms.wikipedia.org).
Sebaliknya, Mayotte, yang tetap menjadi bagian Prancis, berkembang dengan PDB per kapita 13,5 kali lebih tinggi dari Komoro (id.wikipedia.org). Status Mayotte sebagai departemen seberang laut Prancis sejak 2011, setelah referendum 2009, memperdalam kesenjangan ekonomi antara Mayotte dan Komoro, memicu ketegangan berkelanjutan (en.wikipedia.org).
Sengketa Mayotte
Sengketa atas Mayotte adalah salah satu isu paling kontroversial dalam sejarah Komoro. Menurut id.wikipedia.org, Komoro terus mengklaim Mayotte sebagai bagian wilayahnya berdasarkan prinsip integritas teritorial bekas wilayah jajahan. PBB, melalui serangkaian resolusi berjudul “Pertanyaan Pulau Mayotte di Komoro”, mendukung klaim ini, menyatakan bahwa Mayotte adalah bagian dari Komoro (id.wikipedia.org). Namun, Prancis, sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB, memveto resolusi yang menegaskan kedaulatan Komoro atas Mayotte (en.wikipedia.org).
Penduduk Mayotte lebih memilih tetap bersama Prancis karena stabilitas ekonomi dan politik yang ditawarkan. Menurut RE Tawon, kesejahteraan Mayotte bergantung pada subsidi Prancis, yang tidak tersedia bagi Komoro. Meskipun PBB terus memasukkan isu Mayotte dalam agendanya, resolusi praktis tidak tercapai, dan kecil kemungkinan Mayotte akan bergabung dengan Komoro tanpa persetujuan penduduknya (id.wikipedia.org).
Identitas dan Warisan Kemerdekaan
Kemerdekaan Komoro pada 1975 tidak hanya menandai akhir kolonialisme Prancis, tetapi juga pembentukan identitas nasional yang kompleks. Menurut ms.wikipedia.org, Komoro adalah perpaduan budaya Swahili, Arab, dan Prancis, tercermin dalam tiga bahasa resmi: Shikomoro, Arab, dan Prancis. Islam Sunni, yang dianut oleh 98% penduduk, menjadi perekat budaya dan agama resmi negara (Britannica). Keanggotaan Komoro dalam Liga Arab, Uni Afrika, dan Francophonie mencerminkan posisinya sebagai jembatan antara dunia Arab, Afrika, dan Eropa (id.wikipedia.org).
Namun, warisan kemerdekaan juga dibayangi oleh tantangan. Menurut Liputan6.com, Komoro adalah salah satu negara yang jarang dikunjungi wisatawan (hanya 28.000 per tahun), meskipun memiliki keindahan alam seperti Gunung Karthala (2.361 m), Moheli Marine Park, dan Danau Garam (Lac Sale). Ketidakstabilan politik dan kemiskinan menghambat potensi pariwisata dan pembangunan (ms.wikipedia.org).
Prospek dan Relevansi di 2025
Hingga Mei 2025, Komoro tetap menghadapi tantangan dalam menjaga stabilitas politik dan ekonomi. Presiden Azali Assoumani, yang menjabat sejak 2016, telah berupaya memperkuat pemerintahan federal, tetapi kritik terhadap sentralisasi kekuasaan dan korupsi masih ada (Ilmupengetahuanumum.com). Sengketa Mayotte tetap menjadi isu diplomatik, dengan Komoro terus menyuarakan klaimnya di PBB (id.wikipedia.org). Di sisi lain, potensi ekonomi dari ekspor vanila, cengkeh, dan pariwisata belum sepenuhnya tergarap karena keterbatasan infrastruktur (ms.wikipedia.org).
Kemerdekaan Komoro tetap menjadi simbol perjuangan melawan kolonialisme, tetapi juga pengingat akan kompleksitas dekolonisasi di wilayah kepulauan. Menurut RE Tawon, penyelesaian sengketa Mayotte tanpa konflik bersenjata akan menjadi kunci untuk masa depan hubungan Komoro-Prancis. Investasi dalam pendidikan, transportasi, dan pariwisata dapat membantu Komoro keluar dari kemiskinan, sekaligus memperkuat identitas nasionalnya sebagai negara kepulauan yang kaya budaya.
Kesimpulan
Sejarah kemerdekaan Komoro pada 6 Juli 1975 adalah kisah perjuangan melawan kolonialisme Prancis, ditandai oleh referendum 1974, deklarasi sepihak oleh Ahmed Abdallah, dan pengakuan PBB. Namun, kemerdekaan ini diikuti oleh ketidakstabilan politik dengan lebih dari 20 kudeta, krisis ekonomi akibat penarikan dukungan Prancis, dan sengketa berkelanjutan atas Mayotte. Identitas Komoro sebagai negara Arab-Afrika yang beragam, dengan warisan Swahili, Arab, dan Prancis, menjadi kekuatan sekaligus tantangan dalam membangun kohesi nasional. Meskipun menghadapi kemiskinan dan ketidakstabilan, Komoro memiliki potensi untuk bangkit melalui sumber daya alam, pariwisata, dan posisi strategisnya di Samudra Hindia. Sejarah kemerdekaan Komoro mengajarkan bahwa kemerdekaan adalah langkah awal, tetapi membangun negara yang stabil dan sejahtera membutuhkan waktu, komitmen, dan kerja sama internasional.
Daftar Pustaka
-
Amazine.co. Union of Comoros: Fakta, Sejarah & Informasi Lainnya. www.amazine.co, 2013.
-
RE Tawon. Komoro, Negara Kepulauan yang Penuh Pergolakan. www.re-tawon.com, 2019.
-
Ilmupengetahuanumum.com. Profil Negara Komoro (Comoros). ilmupengetahuanumum.com, 2020.
BACA JUGA: Pengertian dan Perbedaan Paham Komunisme Menurut Marxisme: Analisis Mendalam
BACA JUGA: Tim Berners-Lee: Pencetus World Wide Web dan Karya Revolusioner yang Mengubah Dunia
BACA JUGA: Dampak Positif dan Negatif Media Sosial di Era 2025: Peluang dan Tantangan dalam Kehidupan Digital