marylandleather.com,11 MEI 2025
Penulis: Riyan Wicaksono
Editor: Muhammad Kadafi
Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88
Malta, sebuah kepulauan kecil di jantung Laut Mediterania, memiliki sejarah yang kaya dan kompleks menuju kemerdekaannya pada 21 September 1964. Terletak secara strategis antara Eropa, Afrika Utara, dan Timur Tengah, Malta telah menjadi pusat perhatian berbagai kekuatan kolonial selama berabad-abad, mulai dari Fenisia, Romawi, hingga Inggris. Proses kemerdekaan Malta adalah hasil dari perjuangan panjang yang melibatkan dinamika politik, sosial, dan ekonomi, serta pengaruh global seperti Perang Dunia II dan dekolonisasi pasca-perang. Artikel ini menyajikan analisis mendalam tentang sejarah kemerdekaan Malta, mencakup latar belakang kolonial, perjuangan menuju kedaulatan, tantangan pasca-kemerdekaan, dan warisannya hingga Mei 2025, disampaikan secara profesional, rinci, dan jelas.
1. Latar Belakang Sejarah Malta 
Posisi Strategis dan Kolonisasi Awal
Malta, yang terdiri dari pulau utama Malta, Gozo, dan Comino, memiliki luas hanya 316 km², tetapi posisinya di Mediterania menjadikannya titik strategis untuk perdagangan dan militer. Sejak zaman kuno, Malta dikuasai oleh berbagai peradaban:
-
Fenisia (ca. 800 SM): Menjadikan Malta sebagai pos perdagangan.
-
Romawi (218 SM–395 M): Mengintegrasikan Malta ke dalam Kekaisaran Romawi, memperkenalkan Kekristenan melalui Santo Paulus pada 60 M.
-
Bizantium dan Arab (395–1091): Malta berada di bawah kekuasaan Bizantium sebelum ditaklukkan oleh Arab, yang memperkenalkan pengaruh Islam dan bahasa Semit yang menjadi cikal bakal bahasa Malta.
-
Kesatria St. John (1530–1798): Setelah diberikan oleh Kaisar Charles V, Kesatria Hospitaller menguasai Malta, membangun benteng dan infrastruktur seperti Valletta, ibu kota saat ini.
-
Napoleon dan Prancis (1798–1800): Napoleon merebut Malta, tetapi pendudukan Prancis memicu pemberontakan lokal.
Pendudukan Inggris (1800–1964)
Pada 1800, rakyat Malta, dengan bantuan Inggris, mengusir Prancis. Dalam Perjanjian Amiens (1802), Malta seharusnya dikembalikan ke Kesatria St. John, tetapi penduduk lokal memilih berada di bawah perlindungan Inggris. Perjanjian Paris (1814) secara resmi menjadikan Malta sebagai koloni Inggris, menandai awal pendudukan selama 164 tahun.
Inggris mengembangkan Malta sebagai pangkalan angkatan laut utama di Mediterania, terutama setelah pembukaan Terusan Suez pada 1869. Infrastruktur seperti dok kapal dan benteng diperkuat, tetapi status kolonial membatasi otonomi politik rakyat Malta. Bahasa Inggris diperkenalkan sebagai bahasa resmi bersama bahasa Italia, yang digunakan oleh elit Malta, sementara bahasa Malta (Malti) tetap dominan di kalangan rakyat biasa.
2. Perkembangan Politik Menuju Kemerdekaan 
Awal Abad ke-20: Munculnya Aspirasi Politik
Pada awal abad ke-20, kesadaran nasionalis mulai tumbuh di Malta, didorong oleh pendidikan, urbanisasi, dan pengaruh gerakan nasionalisme global. Dua isu utama memicu ketegangan dengan Inggris:
-
Bahasa: Konflik antara bahasa Italia (didukung oleh elit pro-Italia) dan bahasa Malta (didukung oleh rakyat biasa) memicu perdebatan tentang identitas nasional.
-
Otonomi Politik: Penduduk Malta menuntut hak untuk mengatur urusan lokal, yang sering ditolak oleh Inggris karena kepentingan militer.
Pada 1919, kerusuhan Sette Giugno (7 Juni) meletus akibat kenaikan harga makanan dan ketidakpuasan terhadap pemerintahan kolonial. Demonstrasi di Valletta berujung pada kematian empat warga Malta oleh pasukan Inggris, mempercepat reformasi politik. Inggris memberikan konstitusi baru pada 1921, memperkenalkan pemerintahan sendiri (self-government) dengan legislatif terpilih untuk urusan domestik, sementara Inggris mempertahankan kendali atas pertahanan dan luar negeri.
Namun, pemerintahan sendiri ini sering ditangguhkan akibat konflik politik, terutama antara Partai Nasionalis (pro-Italia, dipimpin oleh Fortunato Mizzi dan Enrico Mizzi) dan Partai Konstitusional (pro-Inggris, dipimpin oleh Gerald Strickland). Pada 1933, Inggris mencabut konstitusi 1921 karena pengaruh fasis Italia di Malta, mengembalikan pemerintahan kolonial langsung.
Perang Dunia II: Turning Point
Perang Dunia II (1939–1945) menjadi titik balik dalam sejarah Malta. Karena posisinya yang strategis, Malta menjadi target serangan udara hebat dari pasukan Poros (Italia dan Jerman). Antara 1940 dan 1943, Malta mengalami lebih dari 3.000 serangan udara, menjadikannya salah satu wilayah paling dibom selama perang. Valletta dan pelabuhan besar (Grand Harbour) hancur, dan rakyat Malta menghadapi kelaparan serta kehancuran infrastruktur.
Meskipun menderita, Malta memainkan peran kunci dalam kemenangan Sekutu di Mediterania, terutama melalui blokade terhadap pasokan Poros ke Afrika Utara. Konvoi Operasi Pedestal pada Agustus 1942, yang membawa pasokan vital ke Malta, menyelamatkan pulau dari penyerahan. Keberanian rakyat Malta diakui secara internasional ketika Raja George VI menganugerahkan George Cross kepada Malta pada April 1942, sebuah penghargaan yang hingga kini menjadi simbol kebanggaan nasional dan terpampang di bendera Malta.
Perang Dunia II meningkatkan kesadaran politik rakyat Malta. Pengalaman perang memperkuat identitas nasional dan mendorong tuntutan untuk otonomi lebih besar. Dua partai utama muncul sebagai kekuatan politik:
-
Partai Buruh Malta (MLP): Dipimpin oleh Dom Mintoff, mendukung kemerdekaan penuh dan reformasi sosial-ekonomi.
-
Partai Nasionalis (PN): Dipimpin oleh Giorgio Borg Olivier, mendukung hubungan erat dengan Inggris dan kemerdekaan bertahap.
Pasca-Perang: Jalan Menuju Kemerdekaan
Setelah Perang Dunia II, gelombang dekolonisasi global memengaruhi Malta. Inggris, yang melemah secara ekonomi dan militer, mulai memberikan konsesi politik. Pada 1947, Inggris mengembalikan pemerintahan sendiri melalui konstitusi baru, memberikan legislatif Malta kendali lebih besar atas urusan domestik. Namun, ketidakpuasan terhadap ketergantungan ekonomi pada pangkalan militer Inggris mendorong Partai Buruh untuk mengusulkan integrasi penuh dengan Inggris pada 1955, di mana Malta akan menjadi bagian dari Britania Raya dengan representasi di Parlemen Westminster.
Proposal integrasi ini kontroversial. Partai Nasionalis menolaknya, menganggapnya sebagai pengkhianatan terhadap identitas Malta. Referendum pada 1956 menunjukkan dukungan untuk integrasi (77% setuju), tetapi rendahnya partisipasi pemilih (59%) dan penolakan Gereja Katolik, yang merupakan kekuatan moral di Malta, melemahkan hasilnya. Inggris juga ragu karena biaya ekonomi dan implikasi politik. Akibatnya, proposal integrasi dibatalkan, dan ketegangan politik meningkat.
Pada 1958, Partai Buruh, yang kini dipimpin oleh Dom Mintoff, mengalihkan fokusnya ke kemerdekaan penuh. Demonstrasi anti-Inggris pada 1958 menyebabkan penangguhan pemerintahan sendiri dan penerapan pemerintahan kolonial langsung. Namun, tekanan internasional dan keberhasilan gerakan dekolonisasi di negara lain, seperti Ghana (1957) dan Nigeria (1960), memaksa Inggris untuk mempertimbangkan kemerdekaan Malta.
3. Proses Menuju Kemerdekaan (1960–1964) 
Konferensi London dan Konstitusi Kemerdekaan
Pada 1961, Inggris mengumumkan rencana untuk memberikan kemerdekaan kepada Malta. Konferensi konstitusional di London pada 1961, 1962, dan 1963 melibatkan perwakilan dari Partai Nasionalis, Partai Buruh, dan otoritas Inggris untuk merancang konstitusi kemerdekaan. Isu utama yang dibahas meliputi:
-
Status Monarki: Apakah Malta akan tetap menjadi monarki konstitusional di bawah Ratu Elizabeth II atau menjadi republik.
-
Hubungan dengan Inggris: Termasuk perjanjian pertahanan dan keuangan untuk mendukung transisi ekonomi.
-
Hak Minoritas dan Gereja: Menjamin kebebasan beragama dan pengaruh Gereja Katolik, yang memiliki peran besar dalam masyarakat Malta.
Partai Nasionalis, di bawah Giorgio Borg Olivier, mendukung kemerdekaan dalam Persemakmuran (Commonwealth) dengan Ratu sebagai kepala negara, sementara Partai Buruh Mintoff menuntut kemerdekaan penuh tanpa ikatan kolonial. Pada 1962, Partai Nasionalis memenangkan pemilu, memberikan mandat kepada Borg Olivier untuk memimpin negosiasi akhir.
Pada Juli 1964, Parlemen Inggris mengesahkan Malta Independence Act, yang menetapkan kemerdekaan Malta pada 21 September 1964. Konstitusi kemerdekaan menetapkan Malta sebagai monarki konstitusional dalam Persemakmuran, dengan Gubernur Jenderal sebagai perwakilan Ratu dan Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan. Inggris juga menandatangani perjanjian pertahanan dan bantuan keuangan untuk membantu Malta selama 10 tahun, mengingat ketergantungan ekonomi pada pangkalan militer.
Hari Kemerdekaan: 21 September 1964
Pada 21 September 1964, Malta resmi merdeka, ditandai dengan upacara di Floriana, di mana bendera Inggris diturunkan dan bendera Malta—dengan warna merah, putih, dan George Cross—dikibarkan. Giorgio Borg Olivier menjadi Perdana Menteri pertama, dan Sir Maurice Henry Dorman diangkat sebagai Gubernur Jenderal pertama. Kemerdekaan dirayakan dengan parade, misa syukur, dan perayaan nasional, meskipun Partai Buruh menolak menghadiri upacara resmi karena menganggap perjanjian dengan Inggris terlalu mengikat.
4. Tantangan Pasca-Kemerdekaan 
Transisi Ekonomi
Salah satu tantangan terbesar pasca-kemerdekaan adalah diversifikasi ekonomi. Selama pendudukan Inggris, ekonomi Malta bergantung pada pangkalan militer dan dok kapal, yang mempekerjakan ribuan warga. Setelah kemerdekaan, Inggris mulai mengurangi kehadiran militernya, menyebabkan pengangguran dan ketidakstabilan ekonomi. Pemerintah Borg Olivier berupaya mengembangkan sektor pariwisata dan manufaktur ringan, tetapi kemajuan lambat karena keterbatasan sumber daya dan infrastruktur.
Pada 1971, Partai Buruh di bawah Dom Mintoff memenangkan pemilu dan mengambil langkah radikal untuk mengurangi ketergantungan pada Inggris. Mintoff menegosiasikan ulang perjanjian pertahanan, menuntut sewa lebih tinggi untuk pangkalan militer Inggris. Pada 1979, Inggris menutup pangkalan militernya di Malta, menandai akhir kehadiran militer asing. Mintoff juga memperkuat hubungan dengan negara-negara non-blok seperti Libya dan Tiongkok untuk mendiversifikasi mitra ekonomi.
Perubahan Politik: Menuju Republik
Meskipun merdeka, Malta tetap menjadi monarki konstitusional hingga 13 Desember 1974, ketika konstitusi diubah untuk menjadikan Malta sebagai republik. Sir Anthony Mamo, mantan Gubernur Jenderal, menjadi Presiden pertama, dan Malta tetap berada dalam Persemakmuran. Perubahan ini mencerminkan keinginan untuk kedaulatan penuh dan identitas nasional yang lebih kuat.
Pemerintahan Mintoff (1971–1984) ditandai dengan reformasi sosial, seperti pendidikan gratis dan layanan kesehatan nasional, tetapi juga kontroversi, termasuk konflik dengan Gereja Katolik dan tuduhan otoritarianisme. Partai Nasionalis, yang kembali berkuasa pada 1987 di bawah Eddie Fenech Adami, mengarahkan Malta menuju integrasi dengan Eropa, yang berpuncak pada keanggotaan Uni Eropa pada 1 Mei 2004.
Identitas dan Bahasa
Pasca-kemerdekaan, Malta menghadapi tantangan dalam mendefinisikan identitas nasionalnya. Bahasa Malta, yang berakar dari bahasa Arab dengan pengaruh Italia dan Inggris, menjadi simbol utama identitas nasional dan ditetapkan sebagai bahasa resmi bersama bahasa Inggris pada 1964. Gereja Katolik, yang dianut oleh lebih dari 90% penduduk, tetap menjadi pilar budaya, meskipun pengaruhnya dalam politik menurun seiring sekularisasi.
5. Dampak dan Warisan Kemerdekaan 
Dampak Politik dan Ekonomi
Kemerdekaan Malta membuka jalan bagi kedaulatan penuh dan pengembangan identitas nasional yang mandiri. Secara politik, Malta berhasil menavigasi transisi dari koloni menjadi republik modern, dengan demokrasi parlementer yang stabil meskipun polarisasi antara Partai Buruh dan Nasionalis. Secara ekonomi, Malta beralih dari ketergantungan pada pangkalan militer menuju ekonomi berbasis pariwisata, jasa keuangan, dan teknologi informasi. Pada 2025, Malta memiliki PDB per kapita sekitar €34.000 (sekitar $36.000), menjadikannya salah satu ekonomi terkaya di Mediterania.
Integrasi dengan Uni Eropa
Keanggotaan Uni Eropa pada 2004 dan adopsi euro pada 2008 memperkuat posisi Malta di panggung global. Malta menjadi pusat keuangan dan pariwisata, menarik jutaan wisatawan setiap tahun ke situs bersejarah seperti Valletta (Warisan Dunia UNESCO) dan kuil megalitik seperti Ġgantija. Namun, tantangan seperti korupsi, imigrasi, dan dampak perubahan iklim tetap menjadi isu penting hingga 2025.
Warisan Budaya dan Identitas
Kemerdekaan memperkuat identitas Malta sebagai bangsa yang unik, menggabungkan warisan Mediterania, Arab, dan Eropa. Bahasa Malta, yang digunakan oleh lebih dari 500.000 orang, tetap menjadi simbol kebanggaan nasional. Perayaan Hari Kemerdekaan (Jum l-Indipendenza) setiap 21 September melibatkan parade, konser, dan pameran sejarah, mengenang perjuangan menuju kedaulatan. George Cross pada bendera Malta terus mengingatkan keberanian rakyat selama Perang Dunia II.
Relevansi hingga Mei 2025
Hingga Mei 2025, sejarah kemerdekaan Malta tetap relevan dalam diskursus global tentang dekolonisasi dan pembangunan nasional. Penelitian akademik, seperti yang dilakukan oleh University of Malta, terus mengeksplorasi dampak kolonialisme dan perjuangan kemerdekaan terhadap identitas modern. Konferensi seperti Mediterranean Studies Association (2024) membahas peran Malta sebagai jembatan budaya dan politik di Mediterania. Dalam budaya populer, film dokumenter dan pameran di National Museum of Archaeology di Valletta memperkenalkan sejarah Malta kepada generasi baru.
6. Tantangan dan Kritik
Tantangan Selama Perjuangan Kemerdekaan
-
Polarisasi Politik: Persaingan antara Partai Buruh dan Nasionalis sering menghambat konsensus nasional, seperti dalam debat integrasi versus kemerdekaan.
-
Ketergantungan Ekonomi: Ketergantungan pada Inggris membuat negosiasi kemerdekaan rumit, dengan ketakutan akan krisis ekonomi pasca-kemerdekaan.
-
Pengaruh Gereja: Dominasi Gereja Katolik dalam politik dan pendidikan mempersulit reformasi sekuler selama negosiasi.
-
Konflik Bahasa: Persaingan antara bahasa Malta, Inggris, dan Italia mencerminkan perpecahan kelas dan identitas.
Kritik terhadap Proses Kemerdekaan
-
Ketergantungan pada Inggris: Beberapa kritikus, terutama dari Partai Buruh, menganggap perjanjian pertahanan dan keuangan 1964 sebagai bentuk “neo-kolonialisme,” membatasi kedaulatan penuh Malta.
-
Lambatnya Reformasi Sosial: Meskipun merdeka, reformasi seperti kesetaraan gender dan sekularisasi berjalan lambat karena pengaruh Gereja.
-
Minimnya Partisipasi Publik: Referendum dan konferensi konstitusional didominasi oleh elit politik, dengan keterlibatan rakyat biasa yang terbatas.
7. Kesimpulan
Sejarah kemerdekaan Malta adalah kisah perjuangan panjang melawan kekuatan kolonial, didorong oleh posisi strategis pulau ini di Mediterania. Dari pendudukan Inggris pada 1800 hingga kemerdekaan pada 21 September 1964, Malta menghadapi tantangan politik, ekonomi, dan budaya yang membentuk identitas nasionalnya. Perang Dunia II menjadi katalis penting, meningkatkan kesadaran nasional dan mempercepat dekolonisasi. Di bawah kepemimpinan Giorgio Borg Olivier dan Dom Mintoff, Malta berhasil meraih kedaulatan sebagai monarki konstitusional dalam Persemakmuran, kemudian menjadi republik pada 1974.
Pasca-kemerdekaan, Malta mengatasi ketergantungan ekonomi, memperkuat identitas nasional melalui bahasa Malta dan warisan budaya, serta menjadi anggota Uni Eropa yang sukses. Hingga Mei 2025, warisan kemerdekaan Malta tetap relevan, tercermin dalam perayaan nasional, penelitian akademik, dan posisi pulau ini sebagai pusat budaya dan ekonomi di Mediterania. Untuk informasi lebih lanjut, sumber seperti A Concise History of Malta oleh Carmel Cassar, arsip di National Library of Malta, dan situs resmi pemerintah Malta (gov.mt) dapat menjadi referensi berharga.
BACA JUGA: Sejarah Kemerdekaan Maldives: Perjuangan Menuju Kedaulatan
BACA JUGA: Panduan Perawatan Bebek Peking dari 0 Hari hingga Siap Produksi
BACA JUGA: Suaka Laut: Konservasi Ekosistem Laut untuk Masa Depan Bumi